Sugeng Rawuh...

Senin, 18 Juni 2012

FATWA DALAM HUKUM ISLAM & DINAMIKA DALAM MASYARAKAT

Seseorang yang mengeluarkan fatwa didasarkaan atas pertimbangan kekuasaan / otoritas murni, maka keputusan itu menyerupai pada perbuatan dosa. Apabila pengambilan pengeluaran fatwa hanya didasarkan atas pertimbangan hubungan kerabat atau faktor tertentu ( faktor X ) sekalipun tampak ada manfaatnya, namun fatwa tersebut hakikatnya gagal dan tidak memenuhi syarat-syarat fatwa.
            Syarat-syarat mengeluarkan fatwa bagi seorang mufti ( pemberi fatwa ) sebagai berikut :
1.      Memiliki niat, apabila belum memiliki niat maka tidak ada pada dirinya nur cahaya yang meneranginya;
2.      Hendaknya memiliki ilmu pengetahuan, kesantunan, keagungan, dan ketenangan hati;
3.      Hendaknya memiliki kekuatan untuk menguasai apa yang ada dalam dirinya dan menguasai ilmu pengetahuan;
4.      Memiliki kecukupan dalam hidupnya, kalau tidak ia akan dikuasai ( ditunggangi ) oleh manusia;
5.      Hendaknya mengetahui prinsip-prinsip hidup kemasyarakatan ( hal ihwal manusia dikaitkan dengan alam sekitarnya / environmental ).[1]
Dalam fatwa seharusnya mengandung beberapa unsure pokok meliputi :
a.       Fatwa sebagai bentuk pengambilan keputusan hukum syariat yang sedang diperselisihkan;
b.      Fatwa sebagai jalan keluar ( follow up ) dari kemelut perbedaan pendapat di antara para ulama / para ahli;
c.       Fatwa harus mempunyai konotasi kuat, baik dari segi sosial keagamaan maupun sosial kemasyarakatan.
d.      Fatwa hendaknya mengarahkan pada perdamaian umat untuk menuju umat wahidah.[2]
1.      Definisi
Fatwa adalah suatu jalan yang lempang / lurus. Sedangkan fatwa menurut arti syariat adalah suatu penjelasan hukum syariat dalam menjawab suatu perkara yang diajukan oleh seseorang yang bertanya, baik penjelasan itu jelas atau ragu-ragu dan penjelasan itu mengarah pada dua kepentingan, yakni kepentingan pribadi atau kepentingan masyarakat banyak.[3] Fatwa secara umum merupakan artikulasi dari pandangan formal hukum keagamaan mengenai berbagai persoalan doktrinal, kemasyarakatan dan berbagai peristiwa politik dalam dunia Islam.
Untuk mengeluarkan fatwa, MUI mempunyai prinsip dasar sebagai kebijakan berfatwa, yaitu :
1)      Kapasitas fatwa yang dikeluarkan MUI hanyalah sabatas ijtihad yang bisa benar dan salah, sekalipun telah diupayakan secara optimal dan maksimal.
2)      MUI berpegang pada prinsip bahwa ijtihad tetap terbuka bagi yang memenuhi persyaratan ijtihad dan seseorang tidak wajib terikat dengan salah satu mazhab.
3)      MUI berpegang pada prinsip yang dipegangi oleh para mujtahid.
4)      MUI berpegang pada dalil yang disepakati oleh jumhur, yaitu Al-Qur’an, Sunnah, Qiyas, dan dalil-dalil yang relevan.
5)      Kemaslahatan umum adalah prioritas utama.
6)      MUI tidak mempermudah fatwa, sehingga yang difatwakan hanyalah masalah-masalah nasional yang dianggap penting.[4]

2.      Hakikat Fatwa
Fatwa akan menjadi substansi yang menggantikan hakikat materi dunia eksternal maupun internal, dan menyiratkan keselarasan kosmik karena fatwa terkandung dalam kata-kata atau substansi bahasa yang menitikberatkan adanya suatu perundang-undangan dari seorang pimpinan yang harus dipatuhi oleh setiap bawahannya atau komunitasnya.
Fatwa dapat disamakan dengan esensi atau prinsip dengan segala sesuatu yang substansial, reseptif dan material, sementara dalam bentuk lain, fatwa digunakan dalam pengertian Aristotelian dan Thomistik, sebagai unsure yang esensial dan principal yang berlawanan dengan unsure material.[5]

3.      Hubungan Fatwa dengan Masyarakat
MUI pada dasarnya ditujukan untuk menjamin diterimanya organisasi dalam masyarakat dam memelihara hubungan baik dengan organisasi-organisasi Islam lainnya ataupun dengan pemerintah.[6] MUI kadang juga bertindak mewakili organisasi Islam lainnya, seperti dalam pemberian sumbangan pemikiran tentang Garis-garis Basar Haluan Negara ( GBHN ), penyempurnaan RUU system Pendidikan Nasional, maupun RUU Peradilan Agama dan RUU Perbankan.[7] Meskipun pihak-pihak ormas-ormas Islam menyetujui adanya MUI, namun dukungan terhadap pernyataan tidak pernah diartikan sebagai maksud untuk suatu federasi, apalagi sebuah badan semacam organisasi Islam tertinggi.[8]



     [1] Drs. H. Rohadi Abdul Fatah, M.Ag.Analisis Fatwa Keagamaan dalam Fikih Islam.( Jakarta: PT Bumi Aksara) hal 21.
     [2]Ibid, hal 27.                               
     [3] Ibid, hal 7.
     [4] Ibrahim Hosen, Metodologi Ijtihad Komisi Fatwa MUI, Mimbar Ulama, edisi no. 154, hlm 46.
     [5] ujangmaulana.wordpress.com/2010/03/25/hakikat-fatwa-dlm-pandangan-ahlus-sunnah-wal-jamaah/
     [6] Majelis Ulama Indonesia, 20 Tahun, hlm 125
     [7] Ibid, hlm 174-183
     [8] M. Atho Mudzhar, Fatwa-fatwa, hlm 69

QIYAS


A.      Pengertian
Qiyas menurut bahasa berarti menyamakan sesuatu, sedangkan menurut ahli ushul fiqh adalah menpersamakan hukum suatu peristiwa yang tidak ada nash hukumnya dengan suatu peristiwa yang ada nash hukumnya, karena persamaan keduanya itu dalam illat hukumnya. Contoh qiyas hukum syara’ dan hukum positif:
.1      Meminum khamar yang ditetapkan hukumnya oleh nash. (Q.S. Al-Maidah:90)
.2      Pembunuhan yang dilakukan oleh ahli waris terhadap orang yang mewariskan.
.3      Jual beli pada waktu datangnya seruan adzan untuk shalat jum’at.
.4      Kertas yang dibubuhi dengan tanda tangan di atasnya.
.5      Pencurian yang dilakukan antara orang tua dan anak-anaknya, dan antara suami dan istri tidak boleh diajukan tuntutan hukum terhadap pelakunya kecuali didasarkan atas tuntutan dari pihak korban dalam undang-undang pidana.

B.       Rukun qiyas
.1    Al-Asl, adalah malasalah yang telah ada hukumnya, bedasarkan nas, ia disebut al Maqis ’alaih ( yang diqiyaskan kepadanya ), Mahmul ’alaih( yang dijadikan pertangungan ) musyabbah bih ( yang diserupakan denganya)
.2    Al Far’u, adalah masalah baru yang tidak ada nashnya atau tidak ada hukumnya, ia disebut Maqis ( yang diqiyaskan), AlMahmul) ( yang dipertanguhngkan) dan al musyabbah ( yang diserupakan )
.3    Hukum Asl yaitu hukum yang telah ada pad asl (pokok) yang berdasarkan atas nash atau ijma’, ia dimaksudkan untuk menjadi hukum pad al far’u( cabang).
.4    Al Illat adalah suatu sifat yang ada pada asl yang padanya lah dijadikan sebagai dasar untuk menentuan hukum pokok, dan berdasarkan ada nya keberadaanya sifat itu pada cabang (far), maka ia disamakan dengan pokoknya dari segi hukum.
Syarat-syart i’llat:
a.    Illat itu adalah sifat yang jelas, yang dapat dicapai oleh panca indra
b.    Merupaka sifat yang tegas dan tidak elastis yakani dapat dipastiakan berwujudnya pada furu’ dan tidak mudah berubah
c.    Merupakan sifat yang munasabah , yakni ada persesuian antara hukum dan sifatnya
d.   Merupakan sifat yang tidak terbatsas pada aslnya , tapi bisa juaga berwujud pad beberapa satuan hukum yang bukan asl
Pembagian illat dari segi adanya anggapan dan ketiadaan anggapan syari’ terhadap sifat yang sesuai, maka para ahli ilmu ushul fiqh membagi sifat sesuai(munasib)menjadi 4 macam, yaitu:
a.    Munasib Muatstsir : suatu sifat yang sesuai dimana syari’ telah menyusun hukum yang sesuai dengan sifat itu. Contoh: pewajiban menjauhkan diri dari wanita di waktu haidh dan nash telah menyebutkan sebabnya yaitu bahwa haidh adalah kotoran.
b.    Munasib Mulaim (sifat yang sesuai lagi cocok)
c.    Munasib Mursal : suatu sifat yang mana syari’ tidak menyusun hukum sesuai dengan sifat itu, dan tidak ada dalil syari’ yang menunjukkan akan anggapan-Nya dengan salah satu bentuk anggapan maupun penyia-nyiaan anggapan-Nya. Contoh: kemaslahatan yang menjadi dasar para sahabat dalam membentuk hukum pembayaran pajak atas tanah pertanian, pembuatan mata uang, pentadwinan Al-Qur’an dan penyebarannya,dll.
d.   Munasib Mulgha : suatu sifat yang ternyata mendasarkan hukum atas sifat itu terdapat perwujudan kemaslahatan, namun syari’ tidak menyusun hukum sesuai dengannya, dan syari’ tidak menunjukkan berbagai dalil yang menunjukkan pembatalan anggapannya. Contoh: persamaan anak perempuan dengan anak laki-laki dalam kekerabatan untuk mempermasalahkan mereka dalam bagian harta warisan.
Jalur Illat: berbagai jalan untuk dapat mengetahui illat itu. Adapun jalur yang paling masyhur ada 3, yaitu:
a.       Nash. Apabila nash dalam al-Qur’an atau dalam sunnah menunjukkan bahwa illat suatu hukum adalah sifat ini, maka sifat tersebut menjadi illat berdasarkan nash.
b.      Ijma’. Apabila para mujtahid pada suatu masa sepakat atas keillatan suatu sifat bagi suatu hukum syara’, maka keillatan sifat ini bagi hukum tersebut ditetapkan berdasarkan ijma’. Contoh: harta benda atas anak kecil adalah keadaan yang masih kecil.
c.       As-Sibr wat-Taqsim : as-sibr adalah percobaan, dan dari lafazh itu muncul lafazh al-misbar(alat untuk menyelidiki dalamnya luka), sedangkan taqsim adalah pembatasan sifat-sifat yang layak untuk menjadi illat pada ashl(pokok). Contoh: Ada nash mengharamkan riba fadhl(kelebihan) dan riba an-nasiah(tempo waktu).

C.     Kehujahhan Qiyas
Jumhur ulama’ menerima qiyas menjadi hujjah dalam keadaan:
a.  Apabila hukum asl dinas-kan illahnya
b. Apabila qiyas itu merupakan salah satu dari pada Qiyas-qiyas yang dilakukan Rasulullah
Dalam dua macam ini para ulama sepakat menetapkan bahwa keduanya menjadi hujjah syari’ah, dan qiyas selain kedua tersebut para ulama bebeda pendapat ada yang menerima dan dan adapula yan menolak sebagai hujjah syari’iyyah, diantara golongan yang menolak qiyas adalah An Nazzam dari golongan Zahiriyah dan segolongan ulama Syi’ah.

Daftar Pustaka
Djazuli, Prof. H. A, Ilmu Fiqh, Pengalian, perkembangan, penerapan hukum Islam, Prenada Media, Jakarta, 2005
Abdul Wahab Khalaf, Ilmu Ushul Fiqh, al dar Al Kawaetiyah, Mesir, 1968
Drs. Zarkasi Abdul Salam, Drs. Oman Faturrohman SW, Pengantar Ushul Fuqh 1. LESFI, Yogyakarta,1994
Askurul