Seseorang
yang mengeluarkan fatwa didasarkaan atas pertimbangan kekuasaan / otoritas
murni, maka keputusan itu menyerupai pada perbuatan dosa. Apabila pengambilan
pengeluaran fatwa hanya didasarkan atas pertimbangan hubungan kerabat atau
faktor tertentu ( faktor X ) sekalipun tampak ada manfaatnya, namun fatwa
tersebut hakikatnya gagal dan tidak memenuhi syarat-syarat fatwa.
Syarat-syarat mengeluarkan fatwa
bagi seorang mufti ( pemberi fatwa ) sebagai berikut :
1. Memiliki
niat, apabila belum memiliki niat maka tidak ada pada dirinya nur cahaya yang
meneranginya;
2. Hendaknya
memiliki ilmu pengetahuan, kesantunan, keagungan, dan ketenangan hati;
3. Hendaknya
memiliki kekuatan untuk menguasai apa yang ada dalam dirinya dan menguasai ilmu
pengetahuan;
4. Memiliki
kecukupan dalam hidupnya, kalau tidak ia akan dikuasai ( ditunggangi ) oleh
manusia;
5. Hendaknya
mengetahui prinsip-prinsip hidup kemasyarakatan ( hal ihwal manusia dikaitkan
dengan alam sekitarnya / environmental
).[1]
Dalam
fatwa seharusnya mengandung beberapa unsure pokok meliputi :
a. Fatwa
sebagai bentuk pengambilan keputusan hukum syariat yang sedang diperselisihkan;
b. Fatwa
sebagai jalan keluar ( follow up )
dari kemelut perbedaan pendapat di antara para ulama / para ahli;
c. Fatwa
harus mempunyai konotasi kuat, baik dari segi sosial keagamaan maupun sosial
kemasyarakatan.
d. Fatwa
hendaknya mengarahkan pada perdamaian umat untuk menuju umat wahidah.[2]
1.
Definisi
Fatwa
adalah suatu jalan yang lempang / lurus. Sedangkan fatwa menurut arti syariat
adalah suatu penjelasan hukum syariat dalam menjawab suatu perkara yang
diajukan oleh seseorang yang bertanya, baik penjelasan itu jelas atau ragu-ragu
dan penjelasan itu mengarah pada dua kepentingan, yakni kepentingan pribadi
atau kepentingan masyarakat banyak.[3]
Fatwa secara umum merupakan artikulasi dari pandangan formal hukum keagamaan
mengenai berbagai persoalan doktrinal, kemasyarakatan dan berbagai peristiwa
politik dalam dunia Islam.
Untuk
mengeluarkan fatwa, MUI mempunyai prinsip dasar sebagai kebijakan berfatwa,
yaitu :
1) Kapasitas
fatwa yang dikeluarkan MUI hanyalah sabatas ijtihad yang bisa benar dan salah,
sekalipun telah diupayakan secara optimal dan maksimal.
2) MUI
berpegang pada prinsip bahwa ijtihad tetap terbuka bagi yang memenuhi
persyaratan ijtihad dan seseorang tidak wajib terikat dengan salah satu mazhab.
3) MUI
berpegang pada prinsip yang dipegangi oleh para mujtahid.
4) MUI
berpegang pada dalil yang disepakati oleh jumhur, yaitu Al-Qur’an, Sunnah,
Qiyas, dan dalil-dalil yang relevan.
5) Kemaslahatan
umum adalah prioritas utama.
6) MUI
tidak mempermudah fatwa, sehingga yang difatwakan hanyalah masalah-masalah
nasional yang dianggap penting.[4]
2.
Hakikat
Fatwa
Fatwa
akan menjadi substansi yang menggantikan hakikat materi dunia eksternal maupun
internal, dan menyiratkan keselarasan kosmik karena fatwa terkandung dalam
kata-kata atau substansi bahasa yang menitikberatkan adanya suatu
perundang-undangan dari seorang pimpinan yang harus dipatuhi oleh setiap
bawahannya atau komunitasnya.
Fatwa
dapat disamakan dengan esensi atau prinsip dengan segala sesuatu yang
substansial, reseptif dan material, sementara dalam bentuk lain, fatwa
digunakan dalam pengertian Aristotelian dan Thomistik, sebagai unsure yang
esensial dan principal yang berlawanan dengan unsure material.[5]
3.
Hubungan
Fatwa dengan Masyarakat
MUI
pada dasarnya ditujukan untuk menjamin diterimanya organisasi dalam masyarakat
dam memelihara hubungan baik dengan organisasi-organisasi Islam lainnya ataupun
dengan pemerintah.[6]
MUI kadang juga bertindak mewakili organisasi Islam lainnya, seperti dalam
pemberian sumbangan pemikiran tentang Garis-garis Basar Haluan Negara ( GBHN ),
penyempurnaan RUU system Pendidikan Nasional, maupun RUU Peradilan Agama dan
RUU Perbankan.[7]
Meskipun pihak-pihak ormas-ormas Islam menyetujui adanya MUI, namun dukungan
terhadap pernyataan tidak pernah diartikan sebagai maksud untuk suatu federasi,
apalagi sebuah badan semacam organisasi Islam tertinggi.[8]