Sugeng Rawuh...

Selasa, 06 November 2012

Hukum Pembuktian


1.      Pengertian Pembuktian
Pembuktian adalah penyajian alat-alat bukti yang sah menurut hukum kepada hakim yang memeriksa suatu perkara guna memberikan kepastian tentang kebenaran peristiwa yang dikemukakan. Pembuktian diperlukan dalam suatu perkara yang mengadili suatusengketa di muka pengadilan ( juridicto contentiosa ) maupun dalam perkara-perkara permohonan yang menghasilkan suatu penetapan ( juridicto voluntair ).[1]
Secara etimologi pembuktian berasal dari kata ”bukti” artinya suatu yang
menyatakan kebenaran suatu peristiwa. Kata ”bukti” jika mendapat
awalan ”pe-”dan akhiran ”-an” maka mengandung arti proses, perbuatan,
atau cara membuktikan. Sedangkan dalam arti terminologi ”pembuktian
” berarti usaha menunjukan benar atau salahnya si terdakwa dalam
sidang pengadialan.
Menurut Sobhi Mahmasomi membuktikan suatu perkara adalah
mengajukan alasan, dan memberikan dalil sampai kepada batas yang
menyakinkan apa yang menjadi ketetapan atau keputusan atas dasar
penelitian dan dalil itu. R.Subekti dalam hukum pembuktian, mendefinisikan pembuktian adalah menyakinkan hakim tentang kebenaran dalil-dalil atau dalil-dalil yang dikemukakan dalam suatu persengketaan. R.Supomo mendefinisikan pembuktian dibagi dalam 2 arti yaitu: pembuktian dalam arti luas yaitu; membenarkan hubungan hukum. Sedangkan pembuktian dalam arti sempit yaitu: pembuktian yang hanya
diperlukan manakala apa yang dikemukakan penggugat dibantah oleh
tergugat. Secara sederhana pembuktian dapat didefinisikan sebagai tindakan
memberikan kepastian kepada hakim tentang adannya peristiwa.[2]
2.      Macam-Macam Alat Bukti
Dari urutan alat-alat bukti dalam hukum acara perdata, maka alat bukti tulisan atau surat merupakan alat bukti yang paling utama dalam perkara perdata. Apabila tidak terdapat bukti-bukti yang berupa tulisan, maka pihak yang diwajibkan membuktikan sesuatu berusaha mendapatkan orang-orang yang telah melihat atau mengalami sendiri peristiwa orang-orang yang harus dibuktikan tersebut. Orang-orang tersebut di muka hakim diajukan sebagai saksi. Orang-orang tersebut mungkin saja pada waktu terjadinya peristiwa itu dengan sengaja telah diminta untuk menyaksikan kejadian yang berlangsung ( misalnya dalam perjanjian jual-beli, sewa-menyewa, dan lain-lain ) dan ada pula orang-orang yang secara kebetulan melihat atau mengalami peristiwa yang dipersengketakan.
Apabila tidak mungkin mengajukan saksi-saksi yang telah melihat atau mengalami sendiri peristiwa yang harus dibuktikan, maka diusahakan untuk membuktikan peristiwa-peristiwa lain yang memiliki hubungan erat dengan peristiwa yang harus dibuktikan tadi, dan dari peristiwa itu hakim dapat mengambil suatu kesimpulan. Menyimpulkan terbuktinya sesuatu peristiwa dari terbuktinya peristiwa-peristiwa lain inilah yang dinamakan persangkaan. Bila pembuktian dengan tulisan dan kesaksian itu merupakan pembuktian secara langsung, maka pembuktian dengan persangkaan dinamakan pembuktian secara tak langsung karena pembuktian yang diajukan tidak bersifat fisik melainkan diperoleh dari kesimpulan sesuatu hal atau peristwa yang terjadi di persidangan.[3]
Menurut Sayyid Sabiq dalam Fiqih Sunnahnya, hukum Islam
mengenal 4 macam alat bukti yaitu ;
1)      Saksi
2)      Sumpah
3)      Pengakuan
4)      Bukti tertulis yang sah
Ibnu Qayyim Al-jauziyah menyebutkan ada 27 alat bukti:
1)      Fakta yang berbicara atas dirinya sendiri yang tidak memerlukan sumpah;
2)      Pembuktian dengan pengingkaran atas jawaban tergugat;
3)      Fakta yang berbicara atas dirinya sendiri, disertai sumpah pemegang;
4)      Penolakan sumpah dan sumpah yang dikembalikan;
5)      Pembuktian dengan penolakan sumpah belaka;
6)      Saksi orang laki-laki dengan tanpa sumpah penggugat;
7)      Saksi satu orang laki-laki dengan sumpah penggugat;
8)      Keterangan satu orang laki-laki dengan sumpah penggugat;
9)      Keterangan saksi satu orang laki-laki dan dua orang perempuan;
10)  Keterangan saksi satu orang laki-laki dan penolakan tergugat untuk bersumpah;
11)  Keterangan saksi dua orang perempuan dan sumpah penggugat;
12)  Saksi dua orang perempuan tanpa sumpah;
13)  Saksi tiga orang laki-laki;
14)  Saksi empat orang laki-laki;
15)  Kesaksian Budak;
16)  Kesaksian anak-anak dibawah umur (sudah mumayyiz);
17)  Kesaksian orang yang fasik;
18)  Kesaksian non-muslim;
19)  Bukti pengakuan;
20)  Pengetahuan hakim;
21)  Bedasarkan berita mutawatir;
22)  Bedasrkan berita tersebar;
23)  Berdasarkan berita;
24)  Bukti tertulis;
25)  Bedasarkan indikasi-indikasi yang tampak;
26)  Bedasarkan hasil undian;
27)  Bedasarkan hasil penelusuran hasil jejak;
Menurut fuqaha alat bukti ada tujuh macam yaitu;
1)      Pengkuan
2)      Kesaksian
3)      Sumpah
4)      Menolak sumpah
5)      Bersumpah 50 orang
6)      Pengetahaun hakim
7)      Perasangka (qarinah).[4]
Bukti Surat
Bukti surat terbagi menjadi :
1)      Surat yang merupakan akta :
ü  Akta otentik adalah surat yang dibuat oleh atau dihadapan pegawai umum yang berkuasa akan membuatnya, mewujudkan bukti yang cukup bagi kedua belah pihak dan ahli warisnya serta sekalian orang yang mendapat hak daripadanya, yaitu tentang segala hal, yang tersebut dalam surat itu dan juga tentang yang tercantum dalam surat itu hanya sekedar yang diberitahukan itu langsung berhububg dengan pokok dalam akta itu ( Pasal 165 HIR / Pasal 285 RBG ).
ü  Akta dibawah tangan adalah surat yang dibuat dan ditandatangani oleh para pihak dengan maksud untuk dijadikan bukti dari suatu perbuatan hukum tetapi tidak oleh atau dihadapan pejabat yang ditentukan Undang-Undang. ( Pasal 1874 BW, Pasal 1819 BW, Pasal 304 RBG, S.1867/46 jo. Pasal 286 RBG ).
Bukti Saksi
Alat bukti saksi diatur dalam pasal 168-172 HIR atau pasal 306-309 RBG. Dalam pembuktian dengan saksi pada umumnya dibolehkan dalam segala hal, kecuali jika Undang-Undang menentukan lain. system yang dianut dalam perkara perdata berdasarkan pasal 139-143 HIR, pasal 165-170 RBG, pada prinsipnya menyatakan bahwa, “Menjadi saksi dalam perkara perdata adalah kewajiban hukum, tetapi tidak bersifat imperative dalam segala hal”. Beberapa hal yang menyebabkan saksi bukan sebagai suatu kewajiban yang bersifat memaksa, yaitu :
ü  Saksi tidak relevan meneguhkan dalil atau bantahan. ( Psl 139(1) HIR ).
ü  Saksi berdomisili di luar wilayah hukum PN yang memeriksa. (Psl 143 HIR ).[5]
3.      Beban Pembuktian
Di negara yang menganut sistem common law, penuntut umumlah dalam perkara pidana yang memiliki beban pembuktian untuk membuktikan terdakwa melakukan kejahatan sesuai dengan standar beyond reasonable doubt. Kalau penuntut umum tidak dapat membuktikannya, terdakwa harus dibebaskan tanpa harus membela diri.[6] Ada beberapa teori tentang bebanpembuktian yang menjadi pedoman bagi hakim :
1) Teori hukum subyektif ( teori hak ). Teori ini menetapkan bahwa barangsiapa yang mengaku ataumengemukakan suatu hak maka yang bersangkutan harus membuktikannya.
2) Teori hukum objektif. Teori ini mengajarkan bahwa seorang hakim harus melaksanakanperaturan hukum atas fakta-fakta untuk menemukan kebenaran peristiwa yangdiajukan kepadanya.
3)      Teori hukum acara dan Teori kelayakan. Kedua teori ini bermuara pada hasil yang sama yakni hakim seyogianyaberdasarkan kepatutan membagi beban pembuktian.
Beban untuk membuktikan kebeneran dakwaan atau gugatan dalam
hukum acara Islam, diletakkan diatas pundak pendakwa atau penguggat,
diantara kaidah kulli (umum), bukti itu adalah untuk menetapkan sesuatu
yang berlawanan dengan lahir, sedangkan sumpah dilakukan untuk
mempertahankan hukum asal (kenyataan).
4.      Apa Saja Yang Dibuktikan
Yang harus dibuktikan adalah peristiwa dan bukan hukumnya. Hukumnya tidak harus diajukan atau dibuktikan oleh para pihak, tetapi secara ex officio dianggap harus diketahui dan diterapkan oleh hakim ( ius curia novit ). Ada dalam pasal 178 ayat 1 HIR ( ps. 189 ayat 1 Rbg ) dan pasal 50 ayat 1 Rv. Peristiwa yang harus dibuktikan adalah peristiwa yang relevan. Pasal 163 HIR ( ps. 283 Rbg ) dan 1865 BW dijelaskan bahwa siapa yang mengaku mempunyai hak harus membuktikannya.
Tujuan dari pembuktian adalah untuk menetapkan hubungan hukum antara kedua belah pihak, suatu hubungan yang sering tidak dapat dilihat atau diamati oleh panca indera. Dalam acara perdata, kebenaran yang harus dicari oleh hakim adalah kebenaran formil, berlainan dengan dalam acara pidana, dimana hakim mencari kebenaran materiil. Mencari kebenaran formil berarti bahwa hakim tidak boleh melampaui batas-batas yang diajukan oleh yang berperkara: jadi tidak melihat kepada bobot atau isi, akan tetapi kepada luas pemeriksaan oleh hakim. Pasal 178 ayat 3 HIR ( ps. 189 ayat 3 Rbg. 50 ayat 3 Rv ) melarang hakim untuk menjatuhkan putusan atas perkara yang tidak dituntut atau akan meluluskan lebih dari yang dituntut.[7]
5.      Nilai Pembuktian
Pembentukan Undang-Undang dapat mengikat hakim pada alat-alat bukti tertentu, sehingga ia tidak bebas menilainya. Sebaliknya pembentukan Undang-Undang dapat menyerahkan dan memberi kebebasan kepada hakim dalam menilai pembuktian. Bukti dinilai lengkap atau sempurna, apabila hakim berpendapat bahwa berdasarkan bukti yang telah diajukan, peristiwa yang harus dibuktikan itu harus dianggap sudah pasti atau benar. Teori tentang pembuktian peristiwa dalam siding :
1)      Teori pembuktian bebas.
Teori ini tidak menghendaki adanya ketentuan-ketentuan yang mengikat hakim, sehingga pernilaian pembuktian seberapa dapat diserahkan kepadanya.
2)      Teori pembuktian negatif
Menurut teori ini harus ada ketentuan-ketentuan yang mengikat, yang bersifat negative, yaitu bahwa ketentuan ini harus membatasi pada larangan kepada hakim untuk melakukan sesuatu yang berhubungan dengan pembuktian. ( ps. 169 HIR. 306 Rbg. 1905 BW ).
3)    Teori pembuktian positif
Teori ini menghendaki adanya perintah kepada hakim. ( ps. 165 HIR, 285 Rbg, 1870 BW ).[8]


     [1] Ibid
     [5] 3e343f82b5466e7e63e0a9db62814c5c052a5511
     [7] Prof. DR. Sudikno Mertokusumo, S.H, Hukum Acara Perdata Indonesia, hal 137-139
     [8] Ibid hal 139-141

Tidak ada komentar:

Posting Komentar