A.
Pengertian
Pengangkatan
anak terjemahan dari bahasa Inggris adoption
yang berarti mengangkat anak orang lain untuk dijadikan sebagai anak sendiri
dan mempunyai hak yang sama dengan anak kandung. Dalam Kamus Besar Bahasa
Indonesia istilah pengangkatan anak disebut juga dengan istilah adopsi yang
berarti pengambilan (pengangkatan) anak orang lain secara sah menjadi anak
sendiri.
Anak
yang diadopsi disebut “anak angkat”, peristiwa hukumnya disebut “pengangkatan
anak” dan istilah terakhir inilah yang kemudian dalam pembahasan akan digunakan
untuk mewakili istilah adopsi. Pengangkatan anak dapat dijumpai dalam lapangan
hukum keperdataan, khususnya dalam lapangan hukum keluarga.[1]
Menurut
Hilman Kusuma, S. H mengemukakan pendapatnya dengan mengatakan : “Anak angkat
adalah anak orang lain yang dianggap anak sendiri oleh orang tua angkat dengan
resmi menurut hukum adat setempat dikarenakan tujuan untuk kelangsungan
keturunan dan pemeliharaan atas harta kekayaan rumah tangga.”
Kemudian
dikemukakan pendapat surojo wingjodipura, S. H dengan mengatakan : “Adopsi (
mengangkat anak ) adalah suatu perbuatan pengambilan anak orang lain kedalam
keluarga sendiri sedemikian rupa sehingga antara orang yang memungut anak dan anak yang
dipungut itu timbul suatu hukum kekeluargaan yang sama, seperti yang ada
diantara orang tua dan anak.”[2]
B.
Sejarah
Pengankatan
anak sudah dikenal
dan berkembang sebelum kerasulan Nabi Muhammad SAW. Mahmud Syaltut menjelaskan
bahwa tradisi pengangkatan
anak sudah di praktekkan oleh masyarakat dan bangsa-bangsa lain sebelum
kedatangan Islam. Di kalangan bangsa Arab sebelum Islam istilah pengangkatan anak dikenal dengan at-tabanni dan sudah ditradisikan secara
turun-temurun.
Imam
Al-Qurtubi menyatakan bahwa sebelum kenabian, Rasulullah SAW pernah mengangkat
Zaid bin Haritsah menjadi anak angkatnya, bahkan tidak lagi memanggil
berdasarkan nama ayahnya (Haritsah) tetapi ditukar oleh Rasulullah SAW dengan
nama Zaid bin Muhammad.[3]
Pengangkatan
anak di negara-negara Barat, berkembang setelah berakhirnya PD II. Pengangkatan
anak di Indonesia mulanya dijalankan berdasarkan Staatsblad (Lembaran Negara)
Tahun 1917 No. 129, dalam ketentuan ini pengangkatan anak tidak saja berasal
dari anak yang jelas asal usulnya, tetapi juga anak yang lahir di luar
perkawinan yang sah (tidak jelas asal usulnya). Dalam Hukum Islam pengasuhan
terhadap anak yang tidak jelas asal usulnya termasuk kelompok “anak pungut”.
Tata
cara pengangkatan anak menurut ulama fikih untuk mengangkat anak atas dasar
ingin mendidik dan membantu orang tua kandungnya agar anak tersebut dapat
mandiri di masa datang. Secara hukum tidak dikenal perpindahan nasab dari ayah kandung ke ayah angkat.
Ada dua hal yang terkait dengan status hukum anak angkat, yaitu:
1. Dalam
hal kewarisan, menurut ulama fikih dalam Islam ada tiga faktor yang menyebabkan
seseorang saling mewarisi, yaitu karena hubungan kekerabatan, karena hasil
perkawinan yang sah, dan karena faktor hubungan perwalian antara hamba sahaya
dan wali yang memerdekakan. Anak angkat tidak termasuk dalam tiga kategori
tersebut.
2. Dalam
hal perkawinan, dalam Islam diatur siapa saja yang dilarang kawin satu sama
lain yang berlaku bagi yang berhubungan darah atau satu keluarga dari garis
lurus ke atas dan ke bawah serta garis menyamping. Anak angkat tidak termasuk
dalam salah satu larangan di atas, sebab ia berada di luar kekerabatan orang
tua angkatnya.[4]
C.
Hak
dan Kewajiban Anak Angkat
1. Hak-hak
anak angkat:
· Berhak
untuk hidup, tumbuh, berkembang dan berpartisipasi secara wajar sesuai dengan
harkat dan martabat kemanusiaan;
· Berhak
atas nama sebagai identitas;
· Berhak
untuk beribadah menurut agamanya, berpikir, dan berekspresi;
· Berhak
untuk mengetahui orang tuanya, dibesarkan dan diasuh orang tuanya;
· Berhak
memperoleh pelayanan kesehatan dan jaminan sosial;
· Berhak
memperoleh pendidikan dan pengajaran; dan sebagainya.
2. Kewajiban
anak angkat:
·
Menghormati
orang tua, wali dan guru;
·
Mencintai
keluarga, masyarakat dan menyayangi teman;
·
Mencintai tanah
air, bangsa dan negara;
·
Memunaikan
ibadah sesuai dengan ajaran agamanya;
·
Melaksanakan
etika dan akhlak yang mulia.
D. Pihak yang dapat mengajukan adopsi
a.
Pasangan Suami Istri
Ketentuan mengenai adopsi anak bagi pasangan
suami istri diatur dalam SEMA No.6 tahun 1983 tentang penyempurnaan Surat
Edaran Nomor 2 tahun 1979 tentang pemeriksaan permohonan
pengesahan/pengangkatan anak. Selain itu Keputusan Menteri Sosial RI No. 41/HUK/KEP/VII/1984
tentang Petunjuk Pelaksanaan Perizinan Pengangkatan Anak juga menegaskan bahwa
syarat untuk mendapatkan izin adalah calon orang tua angkat berstatus kawin dan
pada saat mengajukan permohonan pengangkatan anak, sekurang-kurangnya sudah
kawin lima tahun. Keputusan Menteri ini berlaku bagi calon anak angkat yang
berada dalam asuhan organisasi sosial.
b.
Orang tua tunggal
1)
Staatblaad 1917 No. 129
Staatblaad ini mengatur tentang pengangkatan
anak bagi orang-orang Tionghoa yang selain memungkinkan pengangkatan anak oleh
Anda yang terikat perkawinan, juga bagi yang pernah terikat perkawinan (duda
atau janda). Namun bagi janda yang suaminya telah meninggal dan sang suami
meninggalkan wasiat yang isinya tidak menghendaki pengangkatan anak, maka janda
tersebut tidak dapat melakukannya.
Pengangkatan anak menurut Staatblaad ini hanya
dimungkinkan untuk anak laki-laki dan hanya dapat dilakukan dengan Akte Notaris.
Namun Yurisprudensi (Putusan Pengadilan Negeri Istimewa Jakarta) tertanggal 29
Mei 1963, telah membolehkan mengangkat anak perempuan.
2)
Surat Edaran Mahkamah Agung No.6 Tahun 1983
Surat Edaran Mahkamah Agung No. 6 tahun 1983
ini mengatur tentang pengangkatan anak antar Warga Negara Indonesia (WNI).
Isinya selain menetapkan pengangkatan yang langsung dilakukan antara orang tua
kandung dan orang tua angkat (private adoption), juga tentang pengangkatan anak
yang dapat dilakukan oleh seorang warga negara Indonesia yang tidak terikat
dalam perkawinan yang sah/belum menikah (single parent adoption). Jadi, jika
Anda belum menikah atau Anda memutuskan untuk tidak menikah dan Anda ingin
mengadopsi anak, ketentuan ini sangat memungkinkan Anda untuk melakukannya.
3)
Tata cara mengadopsi
Surat Edaran Mahkamah Agung RI No.6/83 yang
mengatur tentang cara mengadopsi anak menyatakan bahwa untuk mengadopsi anak
harus terlebih dahulu mengajukan permohonan pengesahan/pengangkatan kepada
Pengadilan Negeri di tempat anak yang akan diangkat itu berada.
Bentuk permohonan itu bisa secara lisan atau tertulis, dan diajukan ke panitera. Permohonan diajukan dan ditandatangani oleh pemohon sendiri atau kuasanya, dengan dibubuhi materai secukupnya dan dialamatkan kepada Ketua Pengadilan Negeri yang daerah hukumnya meliputi tempat tinggal/domisili anak yang akan diangkat .
Bentuk permohonan itu bisa secara lisan atau tertulis, dan diajukan ke panitera. Permohonan diajukan dan ditandatangani oleh pemohon sendiri atau kuasanya, dengan dibubuhi materai secukupnya dan dialamatkan kepada Ketua Pengadilan Negeri yang daerah hukumnya meliputi tempat tinggal/domisili anak yang akan diangkat .
E. Akibat hukum pengangkatan anak
1.
Hukum Islam:
Para
ulama fikih sepakat menyatakan bahwa Hukum Islam melarang praktek pengangkatan
anak yang memiliki implikasi yuridis seperti pengangkatan anak yang dikenal
oleh hukum Barat/hukum sekuler dan praktek masyarakat jahiliyah; yaitu
pengangkatan anak yang menjadikan anak angkat menjadi anak kandung, anak angkat
terputus hubungan hukum dengan orang tua kandungnya, anak angkat memiliki hak
waris
sama hak waris anak kandung, orang tua angkat menjadi wali mutlak terhadap anak
angkat. Hukum Islam hanya mengakui pengangkatan anak dalam pengertian
beralihnya kewajiban untuk memberikan nafkah sehari-hari, mendidik, memelihara,
dan lain-lain, dalam konteks beribadah kepada Allah SWT.[5]
Dalam hukum
Islam, pengangkatan anak tidak membawa akibat hukum dalam hal hubungan darah,
hubungan wali-mewali dan hubungan waris mewaris dengan orang tua angkat. Ia
tetap menjadi ahli waris dari orang tua kandungnya dan anak tersebut tetap
memakai nama dari ayah kandungnya (M. Budiarto, S.H, Pengangkatan Anak Ditinjau
Dari Segi hukum, AKAPRESS, 1991)
2.
Perwalian
Dalam hal perwalian, sejak putusan diucapkan oleh pengadilan, maka orang tua angkat menjadi wali dari anak angkat tersebut. Sejak saat itu pula, segala hak dan kewajiban orang tua kandung beralih pada orang tua angkat. Kecuali bagi anak angkat perempuan beragama Islam, bila dia akan menikah maka yang bisa menjadi wali nikahnya hanyalah orangtua kandungnya atau saudara sedarahnya.
Dalam hal perwalian, sejak putusan diucapkan oleh pengadilan, maka orang tua angkat menjadi wali dari anak angkat tersebut. Sejak saat itu pula, segala hak dan kewajiban orang tua kandung beralih pada orang tua angkat. Kecuali bagi anak angkat perempuan beragama Islam, bila dia akan menikah maka yang bisa menjadi wali nikahnya hanyalah orangtua kandungnya atau saudara sedarahnya.
3.
Waris
Khazanah hukum kita, baik hukum adat, hukum Islam maupun hukum nasional, memiliki ketentuan mengenai hak waris. Ketiganya memiliki kekuatan yang sama, artinya seseorang bisa memilih hukum mana yang akan dipakai untuk menentukan pewarisan bagi anak angkat.
Khazanah hukum kita, baik hukum adat, hukum Islam maupun hukum nasional, memiliki ketentuan mengenai hak waris. Ketiganya memiliki kekuatan yang sama, artinya seseorang bisa memilih hukum mana yang akan dipakai untuk menentukan pewarisan bagi anak angkat.
4.
Hukum Adat
Bila
menggunakan lembaga adat, penentuan waris bagi anak angkat tergantung kepada
hukum adat yang berlaku. Bagi keluarga yang parental, -Jawa
misalnya-, pengangkatan anak tidak otomatis memutuskan tali keluarga antara anak itu dengan orangtua kandungnya. Oleh karenanya, selain mendapatkan hak waris dari orangtua angkatnya, dia juga tetap berhak atas waris dari orang tua kandungnya. Berbeda dengan di Bali, pengangkatan anak merupakan kewajiban hukum yang melepaskan anak tersebut dari keluarga asalnya ke dalam keluarga angkatnya. Anak tersebut menjadi anak kandung dari yang mengangkatnya dan meneruskan kedudukan dari bapak angkatnya (M. Buddiarto, S.H, Pengangkatan Anak Ditinjau Dari Segi Hukum, AKAPRESS, 1991).
misalnya-, pengangkatan anak tidak otomatis memutuskan tali keluarga antara anak itu dengan orangtua kandungnya. Oleh karenanya, selain mendapatkan hak waris dari orangtua angkatnya, dia juga tetap berhak atas waris dari orang tua kandungnya. Berbeda dengan di Bali, pengangkatan anak merupakan kewajiban hukum yang melepaskan anak tersebut dari keluarga asalnya ke dalam keluarga angkatnya. Anak tersebut menjadi anak kandung dari yang mengangkatnya dan meneruskan kedudukan dari bapak angkatnya (M. Buddiarto, S.H, Pengangkatan Anak Ditinjau Dari Segi Hukum, AKAPRESS, 1991).
5.
Peraturan Per-Undang-undangan
Dalam
Staatblaad 1917 No. 129, akibat hukum dari pengangkatan anak adalah anak
tersebut secara hukum memperoleh nama dari bapak angkat, dijadikan sebagai anak
yang dilahirkan dari perkawinan orang tua angkat dan menjadi ahli waris orang
tua angkat. Artinya, akibat pengangkatan tersebut maka terputus segala hubungan
perdata, yang berpangkal pada keturunan karena kelahiran, yaitu antara orang
tua kandung dan anak tersebut.[6]
F. Pandangan Ulama
Hukum Islam menjelaskan pengangkatan
anak dengan istilah tabanni, dan dijelaskan oleh Yusuf Qardhawi adopsi
tersebut adalah pemalsuan atas realitas konkrit. Pemalsuan yang menjadikan
seseorang yang sebenarnya orang lain bagi suatu keluarga, menjadi salah satu
anggotanya. Ia bebas saja berduaan dengan kaum perempuannya, dengan anggapan
bahwa mereka adalah mahramnya. Padahal secara hukum mereka adalah orang lain
baginya. Isteri ayah angkatnya bukanlah ibunya, demikian pula dengan puteri,
saudara perempuan, bibi, dan seterusnya. Mereka semua adalah ajnabi
(orang lain) baginya. Dalam istilah yang sedikit kasar Yusuf Qardhawi
menjelaskan “anak angkat dengan anak aku-akuan”.[7]
Yusuf Qardhawi menguraikan secara
singkat perihal pengangkatan anak menurut Islam. Pada masa jahiliyah,
mengangkat anak telah menjadi ‘trend’ bagi mereka, dan anak angkat bagi mereka
tak beda dengan anak kandung, yang dapat mewarisi bila ayah angkat meninggal.
Inilah yang diharamkan dalam Islam. Amir Syarifuddin menyatakan bahwa Hukum
Islam tidak mengenal lembaga anak angkat atau dikenal dengan adopsi dalam arti
terlepasnya anak angkat dari kekerabatan orang tua asalnya dan beralih ke dalam
kekerabatan orang tua angkatnya. Islam mengakui bahkan menganjurkan mengangkat
anak orang lain, dalam arti pemeliharaan.
Sejalan
dengan pendapat tersebut di atas, Ahmad Syarabasyi mengatakan bahwa Allah telah
mengharamkan pengangkatan anak, yang dibangsakan atau dianggap bahwa anak
tersebut sebagai anaknya sendiri yang berasal dari shulbinya atau dari ayah atau
ibunya (padahal anak tersebut adalah anak orang lain). Hal ini juga berdasarkan
pada QS. Al-Ahzab ayat 4-5.[8]
Di
samping pendapat di atas, ada semacam pengangkatan anak tetapi pada hakikatnya
bukan pengangkatan anak yang diharamkan oleh Islam. Yaitu menemukan anak yatim
atau mendapat di jalan, kemudian memeliharanya, mencukupi kebutuhannya,
pendidikannya dan kebutuhan yang lain, namun tidak dinasabkan sebagai anaknya
dan tidak pula diperlakukan padanya hukum-hukum anak seperti di atas. Anak yang
dipungut ini disebut dengan ibnu sabil (anak jalan). Dalam hal ini, Islam
menganggap perbuatan ini sebagai perbuatan yang mulia, dan akan mendapat pahala
berupa syurga, seperti yang dikatakan oleh Rasulullah SAW dalam haditsnya:
انا وكا فل ا
ليتم فئ الجنة هكذا. واشا ر با لسبا بة والو سطئ وفرج بينهما. (البخاري وابوداود
والترمذي)
Artinya:
“Saya
akan bersama orang yang menanggung anak yatim, seperti ini sambil ia menunjuk
jari telunjuk dan jari tengah dan ia ranggangkan antara keduanya”. (HR.
Bukhari, Abu Daud dan Tirmidzi).
Berdasarkan
pendapat kedua ulama yang telah dikemukakan di atas, maka dapat disimpulkan
bahwa status anak angkat atau pada masa sekarang dikenal dengan istilah adopsi
adalah tidak bisa disamakan dengan anak kandung, mengenai nasabnya. Sehingga dalam
hal mawaris, ia tidak memiliki hak waris terhadap harta kedua orang tua
angkatnya. Demikian pula mengenai mahram, ia berstatus sebagai orang lain,
sehingga dia bukanlah mahram bagi anggota keluarga orang tua angkatnya.
Akan tetapi, mengambil anak yatim kemudian memeliharanya dan mencukupi
segala keperluannya, dan tidak menganggapnya anak, maka hal tersebut boleh dan
nabi sendiri melakukannya serta akan mendapatkan pahala syurga.[9]
G. Kedudukan
Anak Angkat Terhadap Harta Waris Dalam Hukum Islam
Hukum Islam atau Syari’at Islam merupakan syari’ah
yang universal, Al-Qur’an sebagai pokok yang fundamental dalam syari’at Islam
berisi ketentuan-ketentuan yang lengkap. Hal ini yang mencakup ke segenap bentuk tingkah laku manusia yang akan
muncul di masa yang akan datang. Semua tingkah laku itu dapat diukur dengan
norma dan ukuran yang pedomannya terdapat dalam Al-Quran. Dengan demikian garis
hukum apapun yang akan dibuat oleh manusia dapat diukur menurut Al-Quran.
Ada tiga cara pendekatan untuk memahami islam atau
Syari’at Islam, yakni dengan pendekatan nakli
atau tradisional, pendekatan aqli atau akal dan pendekatan kasyfi atau
mistik. Ketiga pendekatan tersebut
sudah ada sejak zaman nabi Muhammad SAW, dan terus digunakan oleh ulama-ulama
selanjutnya.
1.
Analisis
Hukum Kewarisan Anak Angkat Menurut
Ulama Klasik
Anak angkat
menurut Pendapat Ulama klasik tidaklah mendapatkan hak waris, karena tidak
adanya hubungan darah atau perkawinan, namun KHI mengisyaratkan dengan cara
memberi wasiat wajibah terhadap anak angkat.
Yang mana melaksanakan wasiat menurut Imam empat madzhab, hukum asalnya
sunnah berdasarkan kata yuridu (arab) dalam hadits yang diriwayatkan Imam
Maliki dari An-Nafi sebagai berikut : "Tidak ada hak bagi seorang Muslim
yang mempunyai sesuatu (yuridis) ingin diwasiatkannya yang sampai bermalam dua
malam, maka wasiat itu wajib tertulis baginya". Para Imam empat madzhab
berpendapat bahwa berwasiat hendaknya sunah dengan alasan, karena tidak ada
dalil yang menyatakan Rasulullah SAW dan para sahabatnya melaksanakannya. Namun
demikian wasiat dapat beralih hukumnya wajib, mubah, dan makruh bahkan haram
tergantung pada maksud dan tujuannya.
2.
Analisis
Hukum Kewarsan Anak Angkat Menurut Organisasi
a.
Muhammadiyah
Dalam al-Qur’an dijelaskan:
4… $tBur @yèy_ öNä.uä!$uÏã÷r& öNä.uä!$oYö/r& 4 öNä3Ï9ºs Nä3ä9öqs% öNä3Ïdºuqøùr'Î/ ( ª!$#ur ãAqà)t ¨,ysø9$# uqèdur Ïôgt @Î6¡¡9$# ÇÍÈ öNèdqãã÷$# öNÎgͬ!$t/Ky uqèd äÝ|¡ø%r& yZÏã «!$# 4 bÎ*sù öN©9 (#þqßJn=÷ès? öNèduä!$t/#uä öNà6çRºuq÷zÎ*sù Îû ÈûïÏe$!$# öNä3Ï9ºuqtBur 4 } ….
Artinya:
“… dan Dia
tidak menjadikan anak-anak angkatmu sebagai anak kandungmu (sendiri). Yang
demikian itu hanyalah perkataanmu dimulutmu saja. Dan Allah mengatakan yang
sebenarnya dan Dia menunjukkan jalan (yang benar). Panggillah mereka (anak-anak
angkat itu) dengan (memakai) nama bapak-bapak mereka; itulah yang lebih adil
pada sisi Allah, dan jika kamu tidak mengetahui bapak-bapak mereka, maka
(panggillah mereka sebagai) saudara-saudaramu seagama dan maula-maulamu (hamba
sahaya yang sudah dimerdekakan) …” [QS. al-Ahzab: (33): 4-5].
Dari ayat
al-Qur’an di atas, diperoleh ketegasan bahwa anak angkat tidak boleh didaku dan
disamakan sebagai anak kandung, sehingga dalam pembagian harta warisan, anak
angkat yang tidak memiliki hubungan nasab atau hubungan darah dengan orang tua
angkatnya tidak dapat saling mewarisi. Dengan kata lain anak angkat tidak
mewarisi harta warisan yang ditinggalkan oleh orang tua angkatnya, demikian
pula sebaliknya orang tua angkat tidak mewarisi harta warisan anak angkatnya.
Namun, dalam Kompilasi Hukum Islam kedudukan anak angkat dalam pembagian harta
warisan disebutkan sebagai penerima wasiat; sebagaimana disebutkan dalam Pasal
209 ayat (2): “Terhadap anak angkat yang tidak menerima wasiat diberi wasiat
wajibah sebanyak-banyaknya 1/3 harta orang tua angkatnya”. Atas dasar ketentuan
tersebut, maka jika dua orang anak angkat sebagaimana yang disebutkan dalam
pertanyaan ini, tidak menerima wasiat dari orang tua angkatnya, maka ia berhak
menerima wasiat wajibah sebanyak-banyaknya 1/3 dari harta warisan yang
ditinggalkan oleh orang tua angkatnya.
b.
Nahdlatul
Ulama
Ulama
Nahdlatul Ulama (NU) dalam Munas Alim Ulama di Situbondo, Jawa Timur pada 21
Desember 1983 juga telah menetapkan fatwa tentang Adopsi. Dalam fatwanya, ulama
NU menyatakan bahwa "Mengangkat anak orang lain untuk diperlakukan,
dijadikan, diakui sebagai anak sendiri hukumnya tidak sah." Sebagai dasar
hukumnya, ulama NU mengutip hadis Nabi SAW. "Barang siapa mengaku orang
lain sebagai bapaknya, dan ia tahu bahwa orang tersebut bukan bapaknya, maka
surga diharamkan terhadap dirinya." Qatadah berkata, siapapun tidak boleh
mengatakan "Zaid itu putra Muhammad". (Khazin, Juz Vi hlm 191)
"Pengangkatan anak tak bisa menjadikan anak itu sederajat dengan anak
sendiri di dalam nasab, mahram maupun hak waris," papar ulama NU dalam
fatwanya. Jadi anak angkat tidak berhak
menerima harta warisan, tetapi dengan melihat kasih sayang diberikan sianak
angkat dan perjuangannya dalam mengurus orang tua angkatnya maka demi
kemaslahatan Ulama NU sepakat dengan keputusan KHI bahwa anak angkat berhak menerima
harta dengan jalan diberikannya wasiat wajibah. [10]
3.
Analisis
Hukum Kewarisan Anak Angkat Menurut Pemakalah
Bicara
masalah hak waris anak angkat, memang tidak ada dalil yang membolehkan adanya
hak waris terhadap anak angkat, namun alangkah baiknya anak angkat tetap
diberikan harta atas peninggalan orang tua angkatnya. Yakni dengan jalan
memberinya wasiat sebagaimana yang telah diungkapkan didalam buku Fiqh Mawaris
(Beni Ahmad Saebani, 2009:346): wasiat dapat ditujukan kepada siapa pun sesuai
dengan kehendak orang yang berwasiat, bahkan kepada bayi yang masih dalam
kandungan pun hukumnya boleh. Maka dengan demikian menurut pemakalah tidak ada
halangan anak angkat boleh diberikan dengan jalan wasiat, karena anak angkat
sangatlah berjasa yang telah merawat orang tua angkatnya bahkan dia yang telah
menjalankan roda perekonomian keluarga.
[2]
http://indriyaniblog.blogspot.com/2011/06/makalah-adopsi.html
[5] Drs. H. Andi Syamsu Alam, SH.,
MH.-Drs. H. M. Fauzan, SH., MM., MH.Hukum
Pengangkatan Anak Perspektif Islam, (Jakarta: Kencana, 2008) hlm 45
[6] http://www.kafebalita.com/content/articles/read/2008/05/hukum-dan-tata-cara-adopsi-anak/297
[8] Ahmad Syarabasyi, Himpunan
Fatwa, (Surabaya: Al-Ikhlas, TTh), hal. 321.
[9] http://yantipaic.blogspot.com/2012/01/makalahstatus-anak-angkat-anak-pungut.html
salam.. boleh saya tahu kitab dan rujukan asal?(kitab muktabar 4 mazhab)trima kasih.
BalasHapus