Sugeng Rawuh...

Selasa, 06 November 2012

Kode Etik Advokat


Dalam Piagam Baturraden, yang dihasilkan oleh pertemuan para advokat tanggal 27 Juni 1971 telah merumuskan tentang unsur-unsur untuk dapat disebut professional, yaitu:
1.      Harus ada ilmu ( hukum ) yang diolah di dalamnya.
2.      Harus ada kebebasan, tidak boleh ada dienst verhouding ( hubungan dinas ) hierarchis.
3.      Mengabdi kepada kepentingan umum, mencari nafkah tidak boleh menjadi tujuan.
4.      Ada clienten-verhouding, yaitu hubungan kepercayaan diantara advokat dan klien.
5.      Ada kewajiban merahasiakan informasi dari klien dan perlindungan dengan hak merahasiakan yang dijamin oleh undang-undang.
6.      Ada immunitet terhadap penuntutan tentang hak yang dilakukandi dalam tugas pembelaan.
7.      Ada kode etik dan peradilan kode etik ( tuchtrechtspraak ).
8.      Ada honorarium yang tidak perlu seimbang dengan hasil pekerjaan atau banyaknya usaha ( orang yang tidak mampu harus ditolong tanpa biaya dengan usaha yang sama )
Untuk mencegah munculnya tindakan immoral dari para professional tersebut, kemudian dibentuk aturan khusus yang dijadikan sebagai standar penilaian etis dan tidaknya suatu perbuatan. Standar etika yang berada dalam kehidupan suatu profesi dikenal dengan kode etik.[1] Berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia, etika adalah: Ilmu tentang apa yang baik dan apa yang buruk dan tentang hak kewajiban moral; Kumpulan asas atau nilai yang berkenaan dengan akhlak; Nilai mengenai benar atau salah yang dianut suatu golongan atau masyarakat. Pengertian lain tentang etika menurut Ensiklopedi Indonesia dijelaskan bahwa etika yang mengandung ilmu tentang kesusilaan, yang menentukan bagaimana patutnya manusia hidup dalam masyarakat mengenai: Apa yang baik dan apa yang buruk; Segala ucapan harus senantiasa berdasarkan hasil pemeriksaan tentang keadaan hidup dalam arti kata seluas-luasnya.
Kode etik dapat dibuat dan diberlakukan secara luas dan sempit. Kode etik dibuat dan diberlakukan secara luas adalah etika yang nilai-nilainya terkandung dalam moral dan susila dan diciptakan dan diberlakukan untuk seluruh umat manusia secara universal. Kode etik dalam arti sempit adalah etika yang diciptakan dan diberlakukan untuk golongan atau kelompok manusia dalam masyarakat. Etika yang diberlakukan secara sempit inilah yang disebut sebagai etika profesi. Etika profesi diciptakan dan diberlakukan untuk kalangan profesi tertentu. Seperti kode etik advokat. Advokat adalah orang yang berpraktek memberi jasa hukum.
Kode etik advokat adalah Kode Etik Advokat Indonesia yang ditetapkan pada tanggal 23 Mei 2002 berdasarkan kesepakatan 7 (tujuh) organisasi advokat Indonesia yang terdiri dari:
1.      Ikatan Advokat Indonesia (IKADIN);
2.      Asosiasi Advokat Indonesia (AAI);
3.      Ikatan Penasehat Hukum Indonesia (IPHI);
4.      Asosiasi Konsultan Hukum Indonesia (AKHI);
5.      Himpunan Konsultan Hukum Pasar Modal (HKHPM);
6.      Serikat Pengacara Indonesia (SPI);
7.      Himpunan advokat dan Pengacara Indonesia (HAPI).
Berdasarkan Pasal 33 Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat menyatakan Kode etik dan ketentuan tentang Dewan Kehormatan Profesi Advokat yang telah ditetapkan dinyatakan mempunyai kekuatan hukum secara mutatis mutandis menurut Undang-Undang ini sampai ada ketentuan yang baru yang dibuat oleh Organisasi Advokat.
Selanjutnya organisasi advokat Kongres Advokat Indonesia telah menetapkan Kode Etik Advokat Indonesia dengan SURAT KEPUTUSAN
KONGRES ADVOKAT INDONESIA I TAHUN 2008 NOMOR: 08/KAI-I/V/2008
TENTANG KODE ETIK ADVOKAT INDONESIA
pada tanggal 30 Mei 2008.[2]
Kode etik mengenai Advokat itu tidak dimaksudkan untuk mengurangi atau menghambat kemandirian profesi, yang punya kewajiban mulia atau terpandang (officium nobile). Sebaliknya, kode etik Advokat merupakan hukum tertinggi dalam menjalankan profesi, yang menjamin dan melindungi namun membebankan kewajiban kepada setiap Advokat untuk jujur dan bertanggung jawab dalam menjalankan profesinya baik kepada klien, pengadilan, teman sejawat, Negara atau masyarakat, dan terutama kepada dirinya sendiri.(kode etik yang disahkan 23 mei 2002). Menurut Sumaryono Kode Etik Profesi dibuat tertulis, karena mempunyai 3 fungsi:
1.      Sebagai sarana control sosial.
2.      Sebagai pencegah campur tangan pihak lain.
3.      Sebagai pencegah kesalah pahaman dan konflik.
Dengan demikian dapat dicegah kemungkinan terjadi konflik kepentingan antara sesama anggota kelompok profesi, atau antara anggota kelompok profesi dan masyarakat. Anggota kelompok profesi atau anggota masyarakat dapat melakukan control melalui rumusan kode etik profesi, apakah anggota kelompok profesi telah memenuhi kewajiban profesionalnya sesuai dengan kode etik profesi.
Penegakan kode etik diartikan sebagai kemampuan komunitas advokat dan organisasinya untuk memaksakan kepatuhan atas ketentuan-ketentuan etika bagi para anggotanya, memproses dugaan terjadi pelanggaran kode etik dan menindak anggota yang melanggar ketentuan-ketentuan yang tercantum didalamnya. Untuk tetap mempertahankan kualitas para anggotanya, sebuah organisasi advokat harus memperhatikan kompetensi intelektual para anggotanya agar lebih baik lagi mutu pelayanannya kepada masyarakat. Proses ini dikenal sebagai Proses Continuing Legal Education (CLE). Program CLE yang dilakukan secara konsisten oleh organisasi advokat diharapkan akan tercipta advokat-advokat yang tidak hanya memiliki ilmu pengetahuan yang luas tapi juga memiliki moralitas yang baik pula.
Semua yang tergambar didalam kode etik advokat adalah prilaku yang baik, tetapi di balik semua itu terdapat kelemahan-kelemahan, sebagai berikut:
1.      Idealisme yang terkandung dalam kode etik advokat tidak sejalan dengan fakta yang terjadi di sekitar, sehingga harapan sangat jauh dari kenyataan.(prof. abdulkadir Muhammad,s.h)
2.      Kode etik advokat merupakan himpunan norma moral yang tidak dilengkapi dengan sanksi keras karena keberlakuannya semata-mata berdasarkan kesadaran.
3.      Tidak berfungsinya Dewan Kehormatan advokat yang diatur dalam pasal 10 kode etik advokat Indonesia(KEAI) dan pasal 26-27 UU No.18 tahun 2003 tentang advokat, tidak akan efektif baik di pusat maupun daerah karena sangat diragukan ada pihak yang melaporkan advokat yang telah melanggar kode etik.
4.      Budaya advokat di Indonesia bisa disebut juga sebagai budaya Solidaritas Korps yang bermakna luas sebagai semangat untuk membela kelompok atau korpnya. Hal-hal diatas inilah yang bisa menjadi sebuah alas an mengapa kode etik advokat tidak berjalan sebagaimana mestinya.[3]
Contoh Pelanggaran Kode Etik Advokat
            23 Agustus 2008, Advokat Indonesia atau Peradi akan memeriksa pengacara Glenn Muhammad Surya Jusuf, Reno Iskandarsyah. Pemeriksaan ini terkait dengan adanya penegasan dari jaksa penuntut umum bahwa Glenn dan Reno Iskandarsyah tidak terbukti diperas jaksa Urip Tri Gunawan, melainkan aktif memberikan uang. jaksa Urip Tri Gunawan dituntut 15 tahun oleh jaksa penuntut umum di Pengadilan Khusus Tindak Pidana Korupsi. Selain itu, jaksa penuntut umum juga menuntut Urip membayar denda Rp 250 juta subsider pidana kurungan pengganti selama enam bulan, bukan enam tahun sebagaimana diberitakan sebelumnya. Urip telah menerima uang dari Artalyta Suryani 660.000 dollar AS dan dari Glenn Muhammad Surya Jusuf melalui pengacaranya, Reno Iskandarsyah, sebesar Rp 1 miliar.
Kasus suap yang melibatkan seorang pengacara jelas bertentangan dengan kode etik yang ada. Pertama, dalam pasal 2 kode etik advokat disebutkan bahwa advokat bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa. Perbuatan suap menyuap tentu saja tidak mencerminkan ketakwaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa. Kemudian dalam pasal 3 huruf b, advokat dalam bekerja harus berdasarkan asas keadilan dan bukan materi. Sikap seorang pengacara yang dalam penyelesaian kasusnya melibatkan transaksi suap jelas menunjukkan bahwa dia sudah tidak memihak atau memperjuangkan keadilan, karena dia berusaha mempengaruhi seorang jaksa dengan imbalan materi.
Sesuai dengan pasal 11 ayat (1) huruf e, organisasi profesi dimana teradu (Reno Iskandarsyah) menjadi anggota dapat mengadukannya kepada dewan kehormatan untuk ditindak lanjuti. Tatacara pengaduan dan pengambilan keputusan sidang pelanggaran kode etik ini terdapat dalam pasal 12-15 Kode Etik Advokat Indonesia. Selanjutnya, jika terbukti melanggar kode etik, Reno Iskandarsyah dapat dijatuhi sanksi dari mulai yang paling ringan berupa teguran hingga yang paling berat yaitu pemberhentian keanggotaan Persatuan Advokat Indonesia (Peradi) secara permanen (pasal 16 Kode Etik Advokat Indonesia).[4]


     [1] Atful Munawar.2004.Kode Etik Profesi Advokat Dalam Perspektif Hukum Islam. Fakultas Syari’ah.

     [4] http://idtpk.wordpress.com/2008/08/23/peradi-akan-periksa-pengacara-glenn/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar