Dalam
Piagam Baturraden, yang dihasilkan oleh pertemuan para advokat tanggal 27 Juni
1971 telah merumuskan tentang unsur-unsur untuk dapat disebut professional,
yaitu:
1.
Harus ada
ilmu ( hukum ) yang diolah di dalamnya.
2.
Harus ada
kebebasan, tidak boleh ada dienst
verhouding ( hubungan dinas ) hierarchis.
3.
Mengabdi
kepada kepentingan umum, mencari nafkah tidak boleh menjadi tujuan.
4.
Ada clienten-verhouding, yaitu hubungan
kepercayaan diantara advokat dan klien.
5.
Ada
kewajiban merahasiakan informasi dari klien dan perlindungan dengan hak
merahasiakan yang dijamin oleh undang-undang.
6.
Ada immunitet terhadap penuntutan tentang
hak yang dilakukandi dalam tugas pembelaan.
7.
Ada kode
etik dan peradilan kode etik ( tuchtrechtspraak
).
8.
Ada
honorarium yang tidak perlu seimbang dengan hasil pekerjaan atau banyaknya
usaha ( orang yang tidak mampu harus ditolong tanpa biaya dengan usaha yang
sama )
Untuk
mencegah munculnya tindakan immoral dari
para professional tersebut, kemudian dibentuk aturan khusus yang dijadikan
sebagai standar penilaian etis dan tidaknya suatu perbuatan. Standar etika yang
berada dalam kehidupan suatu profesi dikenal dengan kode etik.[1] Berdasarkan
Kamus Besar Bahasa Indonesia, etika adalah: Ilmu tentang apa yang baik dan apa
yang buruk dan tentang hak kewajiban moral; Kumpulan asas atau nilai yang
berkenaan dengan akhlak; Nilai mengenai benar atau salah yang dianut suatu
golongan atau masyarakat. Pengertian lain tentang etika menurut Ensiklopedi
Indonesia dijelaskan bahwa etika yang mengandung ilmu tentang kesusilaan, yang
menentukan bagaimana patutnya manusia hidup dalam masyarakat mengenai: Apa yang
baik dan apa yang buruk; Segala ucapan harus senantiasa berdasarkan hasil
pemeriksaan tentang keadaan hidup dalam arti kata seluas-luasnya.
Kode etik dapat dibuat dan diberlakukan secara luas dan sempit. Kode
etik dibuat dan diberlakukan secara luas adalah etika yang nilai-nilainya
terkandung dalam moral dan susila dan diciptakan dan diberlakukan untuk seluruh
umat manusia secara universal. Kode etik dalam arti sempit adalah etika yang
diciptakan dan diberlakukan untuk golongan atau kelompok manusia dalam
masyarakat. Etika yang diberlakukan secara sempit inilah yang disebut sebagai
etika profesi. Etika profesi diciptakan dan diberlakukan untuk kalangan profesi
tertentu. Seperti kode etik advokat. Advokat adalah orang yang berpraktek
memberi jasa hukum.
Kode etik advokat adalah Kode Etik Advokat Indonesia yang ditetapkan
pada tanggal 23 Mei 2002 berdasarkan kesepakatan 7 (tujuh) organisasi advokat
Indonesia yang terdiri dari:
1.
Ikatan
Advokat Indonesia (IKADIN);
2.
Asosiasi
Advokat Indonesia (AAI);
3.
Ikatan
Penasehat Hukum Indonesia (IPHI);
4.
Asosiasi
Konsultan Hukum Indonesia (AKHI);
5.
Himpunan
Konsultan Hukum Pasar Modal (HKHPM);
6.
Serikat
Pengacara Indonesia (SPI);
7.
Himpunan
advokat dan Pengacara Indonesia (HAPI).
Berdasarkan Pasal 33 Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang
Advokat menyatakan Kode etik dan ketentuan tentang Dewan Kehormatan Profesi
Advokat yang telah ditetapkan dinyatakan mempunyai kekuatan hukum secara
mutatis mutandis menurut Undang-Undang ini sampai ada ketentuan yang baru yang
dibuat oleh Organisasi Advokat.
Selanjutnya organisasi advokat Kongres Advokat Indonesia
telah menetapkan Kode Etik Advokat Indonesia dengan SURAT KEPUTUSAN
KONGRES ADVOKAT INDONESIA I TAHUN 2008 NOMOR: 08/KAI-I/V/2008
TENTANG KODE ETIK ADVOKAT INDONESIA pada tanggal 30 Mei 2008.[2]
KONGRES ADVOKAT INDONESIA I TAHUN 2008 NOMOR: 08/KAI-I/V/2008
TENTANG KODE ETIK ADVOKAT INDONESIA pada tanggal 30 Mei 2008.[2]
Kode etik mengenai
Advokat itu tidak dimaksudkan untuk mengurangi atau menghambat kemandirian
profesi, yang punya kewajiban mulia atau terpandang (officium nobile).
Sebaliknya, kode etik Advokat merupakan hukum tertinggi dalam menjalankan profesi, yang
menjamin dan melindungi namun membebankan kewajiban kepada setiap Advokat untuk
jujur dan bertanggung jawab dalam menjalankan profesinya baik kepada klien,
pengadilan, teman sejawat, Negara atau masyarakat, dan terutama kepada dirinya
sendiri.(kode etik yang disahkan 23 mei 2002). Menurut Sumaryono Kode Etik Profesi dibuat tertulis, karena
mempunyai 3 fungsi:
1.
Sebagai sarana control sosial.
2.
Sebagai pencegah campur tangan pihak lain.
3.
Sebagai pencegah kesalah pahaman dan konflik.
Dengan demikian dapat dicegah kemungkinan
terjadi konflik kepentingan antara sesama anggota kelompok profesi, atau antara
anggota kelompok profesi dan masyarakat. Anggota kelompok profesi atau anggota
masyarakat dapat melakukan control melalui rumusan kode etik profesi, apakah
anggota kelompok profesi telah memenuhi kewajiban profesionalnya sesuai dengan
kode etik profesi.
Penegakan kode etik diartikan sebagai kemampuan
komunitas advokat dan organisasinya untuk memaksakan kepatuhan atas
ketentuan-ketentuan etika bagi para anggotanya, memproses dugaan terjadi
pelanggaran kode etik dan menindak anggota yang melanggar ketentuan-ketentuan
yang tercantum didalamnya. Untuk tetap mempertahankan kualitas para anggotanya,
sebuah organisasi advokat harus memperhatikan kompetensi intelektual para
anggotanya agar lebih baik lagi mutu pelayanannya kepada masyarakat. Proses ini
dikenal sebagai Proses Continuing Legal
Education (CLE). Program CLE yang dilakukan secara konsisten oleh
organisasi advokat diharapkan akan tercipta advokat-advokat yang tidak hanya
memiliki ilmu pengetahuan yang luas tapi juga memiliki moralitas yang baik
pula.
Semua yang tergambar didalam kode etik advokat
adalah prilaku yang baik, tetapi di balik semua itu terdapat
kelemahan-kelemahan, sebagai berikut:
1.
Idealisme yang terkandung dalam kode etik advokat tidak
sejalan dengan fakta yang terjadi di sekitar, sehingga harapan sangat jauh dari
kenyataan.(prof. abdulkadir Muhammad,s.h)
2.
Kode etik advokat merupakan himpunan norma moral yang tidak
dilengkapi dengan sanksi keras karena keberlakuannya semata-mata berdasarkan
kesadaran.
3.
Tidak berfungsinya Dewan Kehormatan advokat yang diatur
dalam pasal 10 kode etik advokat Indonesia(KEAI) dan pasal 26-27 UU No.18 tahun
2003 tentang advokat, tidak akan efektif baik di pusat maupun daerah karena
sangat diragukan ada pihak yang melaporkan advokat yang telah melanggar kode
etik.
4.
Budaya advokat di Indonesia bisa disebut juga sebagai
budaya Solidaritas Korps yang bermakna luas sebagai semangat untuk membela kelompok
atau korpnya. Hal-hal diatas inilah yang bisa menjadi sebuah alas an mengapa
kode etik advokat tidak berjalan sebagaimana mestinya.[3]
Contoh Pelanggaran Kode Etik Advokat
23 Agustus 2008, Advokat Indonesia
atau Peradi akan memeriksa pengacara Glenn Muhammad Surya Jusuf, Reno
Iskandarsyah. Pemeriksaan ini terkait dengan adanya penegasan dari jaksa
penuntut umum bahwa Glenn dan Reno Iskandarsyah tidak terbukti diperas jaksa
Urip Tri Gunawan, melainkan aktif memberikan uang. jaksa Urip Tri Gunawan
dituntut 15 tahun oleh jaksa penuntut umum di Pengadilan Khusus Tindak Pidana
Korupsi. Selain itu, jaksa penuntut umum juga menuntut Urip membayar denda Rp
250 juta subsider pidana kurungan pengganti selama enam bulan, bukan enam tahun
sebagaimana diberitakan sebelumnya. Urip telah menerima uang dari Artalyta
Suryani 660.000 dollar AS dan dari Glenn Muhammad Surya Jusuf melalui
pengacaranya, Reno Iskandarsyah, sebesar Rp 1 miliar.
Kasus suap yang melibatkan seorang pengacara jelas bertentangan
dengan kode etik yang ada. Pertama, dalam pasal 2 kode etik advokat disebutkan
bahwa advokat bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa. Perbuatan suap menyuap tentu
saja tidak mencerminkan ketakwaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa. Kemudian dalam
pasal 3 huruf b, advokat dalam bekerja harus berdasarkan asas keadilan dan
bukan materi. Sikap seorang pengacara yang dalam penyelesaian kasusnya
melibatkan transaksi suap jelas menunjukkan bahwa dia sudah tidak memihak atau
memperjuangkan keadilan, karena dia berusaha mempengaruhi seorang jaksa dengan
imbalan materi.
Sesuai dengan pasal 11 ayat (1) huruf e, organisasi profesi dimana
teradu (Reno Iskandarsyah) menjadi anggota dapat mengadukannya kepada dewan
kehormatan untuk ditindak lanjuti. Tatacara pengaduan dan pengambilan keputusan
sidang pelanggaran kode etik ini terdapat dalam pasal 12-15 Kode Etik Advokat
Indonesia. Selanjutnya, jika terbukti melanggar kode etik, Reno Iskandarsyah
dapat dijatuhi sanksi dari mulai yang paling ringan berupa teguran hingga yang
paling berat yaitu pemberhentian keanggotaan Persatuan Advokat Indonesia
(Peradi) secara permanen (pasal 16 Kode Etik Advokat Indonesia).[4]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar