Sugeng Rawuh...

Jumat, 19 Oktober 2012

LKTI&SEMNAS Jurusan AS Fak Syari'ah dan Hukum
UIN SUKA JOGJA

Penentuan arah kiblat

Pelatihan Falakiyah
Penentuan Arah Kiblat bersama BHR

Pengangkatan Anak


A.    Pengertian
Pengangkatan anak terjemahan dari bahasa Inggris adoption yang berarti mengangkat anak orang lain untuk dijadikan sebagai anak sendiri dan mempunyai hak yang sama dengan anak kandung. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia istilah pengangkatan anak disebut juga dengan istilah adopsi yang berarti pengambilan (pengangkatan) anak orang lain secara sah menjadi anak sendiri.
Anak yang diadopsi disebut “anak angkat”, peristiwa hukumnya disebut “pengangkatan anak” dan istilah terakhir inilah yang kemudian dalam pembahasan akan digunakan untuk mewakili istilah adopsi. Pengangkatan anak dapat dijumpai dalam lapangan hukum keperdataan, khususnya dalam lapangan hukum keluarga.[1]
Menurut Hilman Kusuma, S. H mengemukakan pendapatnya dengan mengatakan : “Anak angkat adalah anak orang lain yang dianggap anak sendiri oleh orang tua angkat dengan resmi menurut hukum adat setempat dikarenakan tujuan untuk kelangsungan keturunan dan pemeliharaan atas harta kekayaan rumah tangga.”
Kemudian dikemukakan pendapat surojo wingjodipura, S. H dengan mengatakan : “Adopsi ( mengangkat anak ) adalah suatu perbuatan pengambilan anak orang lain kedalam keluarga sendiri sedemikian rupa sehingga antara orang yang memungut anak dan anak yang dipungut itu timbul suatu hukum kekeluargaan yang sama, seperti yang ada diantara orang tua dan anak.”[2]
B.     Sejarah
Pengankatan anak sudah dikenal dan berkembang sebelum kerasulan Nabi Muhammad SAW. Mahmud Syaltut menjelaskan bahwa tradisi pengangkatan anak sudah di praktekkan oleh masyarakat dan bangsa-bangsa lain sebelum kedatangan Islam. Di kalangan bangsa Arab sebelum Islam istilah pengangkatan anak dikenal dengan at-tabanni dan sudah ditradisikan secara turun-temurun.
Imam Al-Qurtubi menyatakan bahwa sebelum kenabian, Rasulullah SAW pernah mengangkat Zaid bin Haritsah menjadi anak angkatnya, bahkan tidak lagi memanggil berdasarkan nama ayahnya (Haritsah) tetapi ditukar oleh Rasulullah SAW dengan nama Zaid bin Muhammad.[3]
Pengangkatan anak di negara-negara Barat, berkembang setelah berakhirnya PD II. Pengangkatan anak di Indonesia mulanya dijalankan berdasarkan Staatsblad (Lembaran Negara) Tahun 1917 No. 129, dalam ketentuan ini pengangkatan anak tidak saja berasal dari anak yang jelas asal usulnya, tetapi juga anak yang lahir di luar perkawinan yang sah (tidak jelas asal usulnya). Dalam Hukum Islam pengasuhan terhadap anak yang tidak jelas asal usulnya termasuk kelompok “anak pungut”.
Tata cara pengangkatan anak menurut ulama fikih untuk mengangkat anak atas dasar ingin mendidik dan membantu orang tua kandungnya agar anak tersebut dapat mandiri di masa datang. Secara hukum tidak dikenal perpindahan nasab dari ayah kandung ke ayah angkat. Ada dua hal yang terkait dengan status hukum anak angkat, yaitu:
1.      Dalam hal kewarisan, menurut ulama fikih dalam Islam ada tiga faktor yang menyebabkan seseorang saling mewarisi, yaitu karena hubungan kekerabatan, karena hasil perkawinan yang sah, dan karena faktor hubungan perwalian antara hamba sahaya dan wali yang memerdekakan. Anak angkat tidak termasuk dalam tiga kategori tersebut.
2.      Dalam hal perkawinan, dalam Islam diatur siapa saja yang dilarang kawin satu sama lain yang berlaku bagi yang berhubungan darah atau satu keluarga dari garis lurus ke atas dan ke bawah serta garis menyamping. Anak angkat tidak termasuk dalam salah satu larangan di atas, sebab ia berada di luar kekerabatan orang tua angkatnya.[4]
C.    Hak dan Kewajiban Anak Angkat
1.      Hak-hak anak angkat:
·      Berhak untuk hidup, tumbuh, berkembang dan berpartisipasi secara wajar sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan;
·      Berhak atas nama sebagai identitas;
·      Berhak untuk beribadah menurut agamanya, berpikir, dan berekspresi;
·      Berhak untuk mengetahui orang tuanya, dibesarkan dan diasuh orang tuanya;
·      Berhak memperoleh pelayanan kesehatan dan jaminan sosial;
·      Berhak memperoleh pendidikan dan pengajaran; dan sebagainya.
2.      Kewajiban anak angkat:
·         Menghormati orang tua, wali dan guru;
·         Mencintai keluarga, masyarakat dan menyayangi teman;
·         Mencintai tanah air, bangsa dan negara;
·         Memunaikan ibadah sesuai dengan ajaran agamanya;
·         Melaksanakan etika dan akhlak yang mulia.
D.    Pihak yang dapat mengajukan adopsi
a.       Pasangan Suami Istri
Ketentuan mengenai adopsi anak bagi pasangan suami istri diatur dalam SEMA No.6 tahun 1983 tentang penyempurnaan Surat Edaran Nomor 2 tahun 1979 tentang pemeriksaan permohonan pengesahan/pengangkatan anak. Selain itu Keputusan Menteri Sosial RI No. 41/HUK/KEP/VII/1984 tentang Petunjuk Pelaksanaan Perizinan Pengangkatan Anak juga menegaskan bahwa syarat untuk mendapatkan izin adalah calon orang tua angkat berstatus kawin dan pada saat mengajukan permohonan pengangkatan anak, sekurang-kurangnya sudah kawin lima tahun. Keputusan Menteri ini berlaku bagi calon anak angkat yang berada dalam asuhan organisasi sosial.
b.      Orang tua tunggal
1)      Staatblaad 1917 No. 129
Staatblaad ini mengatur tentang pengangkatan anak bagi orang-orang Tionghoa yang selain memungkinkan pengangkatan anak oleh Anda yang terikat perkawinan, juga bagi yang pernah terikat perkawinan (duda atau janda). Namun bagi janda yang suaminya telah meninggal dan sang suami meninggalkan wasiat yang isinya tidak menghendaki pengangkatan anak, maka janda tersebut tidak dapat melakukannya.
Pengangkatan anak menurut Staatblaad ini hanya dimungkinkan untuk anak laki-laki dan hanya dapat dilakukan dengan Akte Notaris. Namun Yurisprudensi (Putusan Pengadilan Negeri Istimewa Jakarta) tertanggal 29 Mei 1963, telah membolehkan mengangkat anak perempuan.
2)      Surat Edaran Mahkamah Agung No.6 Tahun 1983
Surat Edaran Mahkamah Agung No. 6 tahun 1983 ini mengatur tentang pengangkatan anak antar Warga Negara Indonesia (WNI). Isinya selain menetapkan pengangkatan yang langsung dilakukan antara orang tua kandung dan orang tua angkat (private adoption), juga tentang pengangkatan anak yang dapat dilakukan oleh seorang warga negara Indonesia yang tidak terikat dalam perkawinan yang sah/belum menikah (single parent adoption). Jadi, jika Anda belum menikah atau Anda memutuskan untuk tidak menikah dan Anda ingin mengadopsi anak, ketentuan ini sangat memungkinkan Anda untuk melakukannya.
3)      Tata cara mengadopsi
Surat Edaran Mahkamah Agung RI No.6/83 yang mengatur tentang cara mengadopsi anak menyatakan bahwa untuk mengadopsi anak harus terlebih dahulu mengajukan permohonan pengesahan/pengangkatan kepada Pengadilan Negeri di tempat anak yang akan diangkat itu berada.
Bentuk permohonan itu bisa secara lisan atau tertulis, dan diajukan ke panitera. Permohonan diajukan dan ditandatangani oleh pemohon sendiri atau kuasanya, dengan dibubuhi materai secukupnya dan dialamatkan kepada Ketua Pengadilan Negeri yang daerah hukumnya meliputi tempat tinggal/domisili anak yang akan diangkat .
E.     Akibat hukum pengangkatan anak
1.      Hukum Islam:
Para ulama fikih sepakat menyatakan bahwa Hukum Islam melarang praktek pengangkatan anak yang memiliki implikasi yuridis seperti pengangkatan anak yang dikenal oleh hukum Barat/hukum sekuler dan praktek masyarakat jahiliyah; yaitu pengangkatan anak yang menjadikan anak angkat menjadi anak kandung, anak angkat terputus hubungan hukum dengan orang tua kandungnya, anak angkat memiliki hak waris sama hak waris anak kandung, orang tua angkat menjadi wali mutlak terhadap anak angkat. Hukum Islam hanya mengakui pengangkatan anak dalam pengertian beralihnya kewajiban untuk memberikan nafkah sehari-hari, mendidik, memelihara, dan lain-lain, dalam konteks beribadah kepada Allah SWT.[5]
Dalam hukum Islam, pengangkatan anak tidak membawa akibat hukum dalam hal hubungan darah, hubungan wali-mewali dan hubungan waris mewaris dengan orang tua angkat. Ia tetap menjadi ahli waris dari orang tua kandungnya dan anak tersebut tetap memakai nama dari ayah kandungnya (M. Budiarto, S.H, Pengangkatan Anak Ditinjau Dari Segi hukum, AKAPRESS, 1991)
2.      Perwalian
Dalam hal perwalian, sejak putusan diucapkan oleh pengadilan, maka orang tua angkat menjadi wali dari anak angkat tersebut. Sejak saat itu pula, segala hak dan kewajiban orang tua kandung beralih pada orang tua angkat. Kecuali bagi anak angkat perempuan beragama Islam, bila dia akan menikah maka yang bisa menjadi wali nikahnya hanyalah orangtua kandungnya atau saudara sedarahnya.
3.      Waris
Khazanah hukum kita, baik hukum adat, hukum Islam maupun hukum nasional, memiliki ketentuan mengenai hak waris. Ketiganya memiliki kekuatan yang sama, artinya seseorang bisa memilih hukum mana yang akan dipakai untuk menentukan pewarisan bagi anak angkat.
4.      Hukum Adat
Bila menggunakan lembaga adat, penentuan waris bagi anak angkat tergantung kepada hukum adat yang berlaku. Bagi keluarga yang parental, -Jawa
misalnya-, pengangkatan anak tidak otomatis memutuskan tali keluarga antara anak itu dengan orangtua kandungnya. Oleh karenanya, selain mendapatkan hak waris dari orangtua angkatnya, dia juga tetap berhak atas waris dari orang tua kandungnya. Berbeda dengan di Bali, pengangkatan anak merupakan kewajiban hukum yang melepaskan anak tersebut dari keluarga asalnya ke dalam keluarga angkatnya. Anak tersebut menjadi anak kandung dari yang mengangkatnya dan meneruskan kedudukan dari bapak angkatnya (M. Buddiarto, S.H, Pengangkatan Anak Ditinjau Dari Segi Hukum, AKAPRESS, 1991).
5.      Peraturan Per-Undang-undangan
Dalam Staatblaad 1917 No. 129, akibat hukum dari pengangkatan anak adalah anak tersebut secara hukum memperoleh nama dari bapak angkat, dijadikan sebagai anak yang dilahirkan dari perkawinan orang tua angkat dan menjadi ahli waris orang tua angkat. Artinya, akibat pengangkatan tersebut maka terputus segala hubungan perdata, yang berpangkal pada keturunan karena kelahiran, yaitu antara orang tua kandung dan anak tersebut.[6]
F.     Pandangan Ulama
Hukum Islam menjelaskan pengangkatan anak dengan istilah tabanni, dan dijelaskan oleh Yusuf Qardhawi adopsi tersebut adalah pemalsuan atas realitas konkrit. Pemalsuan yang menjadikan seseorang yang sebenarnya orang lain bagi suatu keluarga, menjadi salah satu anggotanya. Ia bebas saja berduaan dengan kaum perempuannya, dengan anggapan bahwa mereka adalah mahramnya. Padahal secara hukum mereka adalah orang lain baginya. Isteri ayah angkatnya bukanlah ibunya, demikian pula dengan puteri, saudara perempuan, bibi, dan seterusnya. Mereka semua adalah ajnabi (orang lain) baginya. Dalam istilah yang sedikit kasar Yusuf Qardhawi menjelaskan “anak angkat dengan anak aku-akuan”.[7]
Yusuf Qardhawi menguraikan secara singkat perihal pengangkatan anak menurut Islam. Pada masa jahiliyah, mengangkat anak telah menjadi ‘trend’ bagi mereka, dan anak angkat bagi mereka tak beda dengan anak kandung, yang dapat mewarisi bila ayah angkat meninggal. Inilah yang diharamkan dalam Islam. Amir Syarifuddin menyatakan bahwa Hukum Islam tidak mengenal lembaga anak angkat atau dikenal dengan adopsi dalam arti terlepasnya anak angkat dari kekerabatan orang tua asalnya dan beralih ke dalam kekerabatan orang tua angkatnya. Islam mengakui bahkan menganjurkan mengangkat anak orang lain, dalam arti pemeliharaan.
Sejalan dengan pendapat tersebut di atas, Ahmad Syarabasyi mengatakan bahwa Allah telah mengharamkan pengangkatan anak, yang dibangsakan atau dianggap bahwa anak tersebut sebagai anaknya sendiri yang berasal dari shulbinya atau dari ayah atau ibunya (padahal anak tersebut adalah anak orang lain). Hal ini juga berdasarkan pada QS. Al-Ahzab ayat 4-5.[8]
Di samping pendapat di atas, ada semacam pengangkatan anak tetapi pada hakikatnya bukan pengangkatan anak yang diharamkan oleh Islam. Yaitu menemukan anak yatim atau mendapat di jalan, kemudian memeliharanya, mencukupi kebutuhannya, pendidikannya dan kebutuhan yang lain, namun tidak dinasabkan sebagai anaknya dan tidak pula diperlakukan padanya hukum-hukum anak seperti di atas. Anak yang dipungut ini disebut dengan ibnu sabil (anak jalan). Dalam hal ini, Islam menganggap perbuatan ini sebagai perbuatan yang mulia, dan akan mendapat pahala berupa syurga, seperti yang dikatakan oleh Rasulullah SAW dalam haditsnya:

انا وكا فل ا ليتم فئ الجنة هكذا. واشا ر با لسبا بة والو سطئ وفرج بينهما. (البخاري وابوداود والترمذي)

Artinya:
Saya akan bersama orang yang menanggung anak yatim, seperti ini sambil ia menunjuk jari telunjuk dan jari tengah dan ia ranggangkan antara keduanya”. (HR. Bukhari, Abu Daud dan Tirmidzi).
Berdasarkan pendapat kedua ulama yang telah dikemukakan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa status anak angkat atau pada masa sekarang dikenal dengan istilah adopsi adalah tidak bisa disamakan dengan anak kandung, mengenai nasabnya. Sehingga dalam hal mawaris, ia tidak memiliki hak waris terhadap harta kedua orang tua angkatnya. Demikian pula mengenai mahram, ia berstatus sebagai orang lain, sehingga dia bukanlah mahram bagi anggota keluarga orang tua angkatnya.  Akan tetapi, mengambil anak yatim kemudian memeliharanya dan mencukupi segala keperluannya, dan tidak menganggapnya anak, maka hal tersebut boleh dan nabi sendiri melakukannya serta akan mendapatkan pahala syurga.[9]
G.    Kedudukan Anak Angkat Terhadap Harta Waris Dalam Hukum Islam
Hukum Islam atau Syari’at Islam merupakan syari’ah yang universal, Al-Qur’an sebagai pokok yang fundamental dalam syari’at Islam berisi ketentuan-ketentuan yang lengkap. Hal ini yang mencakup ke  segenap bentuk tingkah laku manusia yang akan muncul di masa yang akan datang. Semua tingkah laku itu dapat diukur dengan norma dan ukuran yang pedomannya terdapat dalam Al-Quran. Dengan demikian garis hukum apapun yang akan dibuat oleh manusia dapat diukur menurut  Al-Quran.
Ada tiga cara pendekatan untuk memahami islam atau Syari’at Islam, yakni dengan pendekatan nakli atau tradisional, pendekatan aqli atau akal dan pendekatan kasyfi atau mistik. Ketiga pendekatan tersebut sudah ada sejak zaman nabi Muhammad SAW, dan terus digunakan oleh ulama-ulama selanjutnya.
1.      Analisis Hukum Kewarisan Anak Angkat  Menurut Ulama Klasik
Anak angkat menurut Pendapat Ulama klasik tidaklah mendapatkan hak waris, karena tidak adanya hubungan darah atau perkawinan, namun KHI mengisyaratkan dengan cara memberi wasiat wajibah terhadap anak angkat.  Yang mana melaksanakan wasiat menurut Imam empat madzhab, hukum asalnya sunnah berdasarkan kata yuridu (arab) dalam hadits yang diriwayatkan Imam Maliki dari An-Nafi sebagai berikut : "Tidak ada hak bagi seorang Muslim yang mempunyai sesuatu (yuridis) ingin diwasiatkannya yang sampai bermalam dua malam, maka wasiat itu wajib tertulis baginya". Para Imam empat madzhab berpendapat bahwa berwasiat hendaknya sunah dengan alasan, karena tidak ada dalil yang menyatakan Rasulullah SAW dan para sahabatnya melaksanakannya. Namun demikian wasiat dapat beralih hukumnya wajib, mubah, dan makruh bahkan haram tergantung pada maksud dan tujuannya.
2.      Analisis Hukum Kewarsan Anak Angkat Menurut Organisasi
a.       Muhammadiyah
Dalam al-Qur’an dijelaskan:
4 $tBur Ÿ@yèy_ öNä.uä!$uŠÏã÷Šr& öNä.uä!$oYö/r& 4 öNä3Ï9ºsŒ Nä3ä9öqs% öNä3Ïdºuqøùr'Î/ ( ª!$#ur ãAqà)tƒ ¨,ysø9$# uqèdur Ïôgtƒ Ÿ@Î6¡¡9$# ÇÍÈ   öNèdqãã÷Š$# öNÎgͬ!$t/Ky uqèd äÝ|¡ø%r& yZÏã «!$# 4 bÎ*sù öN©9 (#þqßJn=÷ès? öNèduä!$t/#uä öNà6çRºuq÷zÎ*sù Îû ÈûïÏe$!$# öNä3Ï9ºuqtBur 4 } ….
Artinya:
“… dan Dia tidak menjadikan anak-anak angkatmu sebagai anak kandungmu (sendiri). Yang demikian itu hanyalah perkataanmu dimulutmu saja. Dan Allah mengatakan yang sebenarnya dan Dia menunjukkan jalan (yang benar). Panggillah mereka (anak-anak angkat itu) dengan (memakai) nama bapak-bapak mereka; itulah yang lebih adil pada sisi Allah, dan jika kamu tidak mengetahui bapak-bapak mereka, maka (panggillah mereka sebagai) saudara-saudaramu seagama dan maula-maulamu (hamba sahaya yang sudah dimerdekakan) …” [QS. al-Ahzab: (33): 4-5].
Dari ayat al-Qur’an di atas, diperoleh ketegasan bahwa anak angkat tidak boleh didaku dan disamakan sebagai anak kandung, sehingga dalam pembagian harta warisan, anak angkat yang tidak memiliki hubungan nasab atau hubungan darah dengan orang tua angkatnya tidak dapat saling mewarisi. Dengan kata lain anak angkat tidak mewarisi harta warisan yang ditinggalkan oleh orang tua angkatnya, demikian pula sebaliknya orang tua angkat tidak mewarisi harta warisan anak angkatnya. Namun, dalam Kompilasi Hukum Islam kedudukan anak angkat dalam pembagian harta warisan disebutkan sebagai penerima wasiat; sebagaimana disebutkan dalam Pasal 209 ayat (2): “Terhadap anak angkat yang tidak menerima wasiat diberi wasiat wajibah sebanyak-banyaknya 1/3 harta orang tua angkatnya”. Atas dasar ketentuan tersebut, maka jika dua orang anak angkat sebagaimana yang disebutkan dalam pertanyaan ini, tidak menerima wasiat dari orang tua angkatnya, maka ia berhak menerima wasiat wajibah sebanyak-banyaknya 1/3 dari harta warisan yang ditinggalkan oleh orang tua angkatnya.
b.      Nahdlatul Ulama
Ulama Nahdlatul Ulama (NU) dalam Munas Alim Ulama di Situbondo, Jawa Timur pada 21 Desember 1983 juga telah menetapkan fatwa tentang Adopsi. Dalam fatwanya, ulama NU menyatakan bahwa "Mengangkat anak orang lain untuk diperlakukan, dijadikan, diakui sebagai anak sendiri hukumnya tidak sah." Sebagai dasar hukumnya, ulama NU mengutip hadis Nabi SAW. "Barang siapa mengaku orang lain sebagai bapaknya, dan ia tahu bahwa orang tersebut bukan bapaknya, maka surga diharamkan terhadap dirinya." Qatadah berkata, siapapun tidak boleh mengatakan "Zaid itu putra Muhammad". (Khazin, Juz Vi hlm 191) "Pengangkatan anak tak bisa menjadikan anak itu sederajat dengan anak sendiri di dalam nasab, mahram maupun hak waris," papar ulama NU dalam fatwanya.  Jadi anak angkat tidak berhak menerima harta warisan, tetapi dengan melihat kasih sayang diberikan sianak angkat dan perjuangannya dalam mengurus orang tua angkatnya maka demi kemaslahatan Ulama NU sepakat dengan keputusan KHI bahwa anak angkat berhak menerima harta dengan jalan diberikannya wasiat wajibah. [10]
3.      Analisis Hukum Kewarisan Anak Angkat Menurut Pemakalah
Bicara masalah hak waris anak angkat, memang tidak ada dalil yang membolehkan adanya hak waris terhadap anak angkat, namun alangkah baiknya anak angkat tetap diberikan harta atas peninggalan orang tua angkatnya. Yakni dengan jalan memberinya wasiat sebagaimana yang telah diungkapkan didalam buku Fiqh Mawaris (Beni Ahmad Saebani, 2009:346): wasiat dapat ditujukan kepada siapa pun sesuai dengan kehendak orang yang berwasiat, bahkan kepada bayi yang masih dalam kandungan pun hukumnya boleh. Maka dengan demikian menurut pemakalah tidak ada halangan anak angkat boleh diberikan dengan jalan wasiat, karena anak angkat sangatlah berjasa yang telah merawat orang tua angkatnya bahkan dia yang telah menjalankan roda perekonomian keluarga.


                [1] Drs. H. Andi Syamsu Alam, SH., MH.-Drs. H. M. Fauzan, SH., MM., MH.Hukum Pengangkatan Anak Perspektif Islam, (Jakarta: Kencana, 2008) hlm  19-21.
[2] http://indriyaniblog.blogspot.com/2011/06/makalah-adopsi.html
      [3] Ibid hlm 22
      [4] Ibid hlm 25-26
[5] Drs. H. Andi Syamsu Alam, SH., MH.-Drs. H. M. Fauzan, SH., MM., MH.Hukum Pengangkatan Anak Perspektif Islam, (Jakarta: Kencana, 2008) hlm  45
[6] http://www.kafebalita.com/content/articles/read/2008/05/hukum-dan-tata-cara-adopsi-anak/297
[7] Masjfuk Zuhdi, Masailul Fiqhiyah, (Jakarta: Haji Masagung, 1993), hal. 28
[8] Ahmad Syarabasyi, Himpunan Fatwa, (Surabaya: Al-Ikhlas, TTh), hal. 321.
[9] http://yantipaic.blogspot.com/2012/01/makalahstatus-anak-angkat-anak-pungut.html