Sugeng Rawuh...

Selasa, 06 November 2012

Delik Adat


1.      Pengertian Delik Adat
Delik adat merupakan tindakan melanggar hukum. Tapi tidak semua pelanggaran hukum merupakan perbuatan pidana ( delik ). Perbuatan yang dapat dipidana hanyalah pelanggaran hukum yang diancam dengan suatu pidana oleh Undang-Undang.[1] Soerojo Wignjodipoero berpendapat delik adalah suatu tindakan yang melanggar perasaan keadilan & kepatutan yang hidup dalam masyarakat, sahingga menyebabkan terganggunya ketentraman serta keseimbangan masyarakat guna memulihkan kembali, maka terjadi reaksi-reaksi adat. Jadi, hukum delik adat adalah keseluruhan hukum tidak tertulis yang menentukan adanya perbuatan-perbuatan pelanggaran adat beserta segala upaya untuk memulihkan kembali keadaan keseimbangan yang terganggu oleh perbuatan tersebut.[2]
Menurut Van Vollenhoven, delik Adat adalah perbuatan yang tidak boleh dilakukan walaupun dalam kenyataannya peristiwa atau perbuatan itu hanya merupakan kesalahan yang kecil saja.[3] Soepomo sebagaimana dikutip oleh Bewa Ragawino, SH. MSI. menyatakan bahwa Delik Adat: “ Segala perbuatan atau kejadian yang sangat menggangu kekuatan batin masyarakat, segala perbuatan atau kejadian yang mencemarkan suasana batin, yang menentang kesucian masyarakat, merupakan delik terhadap masyarakat seluruhnya” Selanjutnya dinyatakan pula: “Delik yang paling berat ialah segala pelanggaran yang memperkosa perimbangan antara dunia lahir dan dunia gaib, serta pelanggaran yang memperkosa dasar susunan masyarakat”[4]
Mengenai pengertian delik adat ini, Teer Haar memberikan pernyataan bahwa Setiap perbuatan dalam sistem adat dinilai dan dipertimbangkan berdasarkan tata susunan persekutuan yang berlaku pada saat perbuatan tersebut dilakukan. Pelanggaran yang terjadi di dalam hukum adat atau juga disebut delik adat menurutnya adalah setiap gangguan terhadap keseimbangan dan setiap gangguan terhadap barang-barang materiil dan imateriil milik seseorang atau sekelompok orang yang menimbulkan reaksi adat.[5]
2.      Subyek Delik Adat
Apabila terjadi suatu pelanggaran hukum, maka petugas hukum ( kepala adat dan sebagainya ) mengambil tindakan konkrit ( reaksi adat ) guna membetulkan hukum yang dilanggar itu. Misalnya, tidak melunasi hutang dapat dipulihkan dengan penghukuman debitur untuk melunasi hutangnya.[6]
3.      Lahirnya Delik Adat
Suatu delik lahir dengan diundangkannya suatu ancaman pidana di dalam staatsblad ( lembaran negara ). Di dalam sistem hukum adat ( hukum tak tertulis ), lahirnya suatu delik serupa dengan lahirnya tiap-tiap peraturan hukum tak tertulis. Tiap-tiap peraturan hukum adat timbul, berkembang dan seterusnya lenyap dengan lahirnya peraturan baru, sedangkan peraturan baru itu berkembang kemudian lenyap pula begitu seterusnya.[7]
Berdasarkan teori beslissingen teer (ajaran keputusan) bahwa suatu peraturan mengenai tingkah laku manusia akan bersifat hukum manakala diputuskan & dipertahan-kan oleh petugas hukum. Karena manusia itu melakukan sebuah tindakan yang dianggap salah, maka dibuatlah hukuman bagi orang yang melakukan tindakan itu. Maka dari pada itulah lahirnya sebuah delik (Pelanggaran) adat adalah bersamaan dengan lahirnya hukum adat.
Hukum delik adat bersifat tidak statis (dinamis) artinya suatu perbuatan yang tadinya bukan delik pada suatu waktu dapat dianggap delik oleh hakim (kepala adat) karena menentang tata tertib masyarakat sehingga perlu ada reaksi (upaya) adat untuk memulihkan kembali. Maka daripada itulah hukum delik adat akan timbul, seiring berkembang dan lenyap dengan menyesuaikan diri dengan perasaan keadilan masyarakat.[8]
4.      Aliran Fikiran Tradisional
Alam pikiran tradisional Indonesia bersifat kosmis, meliputi segala-galanya sebagai kesatuan ( totaliter ). Aliran pikiran kosmis merupakan latar belakang hukum pelanggaran adat. Yang paling penting bagi masyarakat adalah adanya keseimbangan, keselarasan, keserasian antara dunia lahir dan gaib.[9]
5.      Petugas Hukum Dalam Perkara Adat
Menurut Undang-Undang Darurat No. 1/1951 yang mempertahankan ketentuan-ketentuan dalam Ordonansi tanggal 9 Maret 1935 Ataatblad No.102 tahun 1955, Statblad No. 102/1945 maka hakim perdamaian desa diakui berwenang memeriksa segala perkara adat, termasuk juga perkara delik adat. Delik-delik adat yang juga merupakan delik menurut KUH Pidana, rakyat desa lambat laun telah menerima dan menganggap sebagai suatu yang wajar bila yang bersalah itu diadili serta dijatuhi hukuman oleh hakim pengadilan Negeri dengan pidana yang ditentukan oleh KUH Pidana.[10]
Jadi, menurut Ragawino, dengan adanya hukum pidana dan perdata barat sejatinya meringankan tugas hakim perdamaian adat, dimana masyarakat rela jika permasalahan yang terjadi diselesaikan dalam undang-undang tersebut, namun hal ini mengurangi substansi dari Undang-Undang Darurat No. 1/1951 yang mempertahankan ketentuan-ketentuan dalam Ordonansi tanggal 9 Maret 1935 Ataatblad No. 102 tahun 1955, Statblad No. 102/1945 maka hakim perdamaian desa diakui berwenang memeriksa segala perkara adat, termasuk juga perkara delik adat.[11]
6.      Perbedaan Delik Adat
Sistem Hukum Adat:
ü  Istilah teoretisnya Hukum pelanggaran adat/hukum delik adat
ü  Tidak membedakan lap pidana & perdata
ü Hanya mengenal satu prosedur penuntutan oleh petugas adat (kepala adat/perskutuan)
Sistem Hukum Barat:
ü  Istilah teoretisnya  hukum pidana
ü  Ada pembedaan lap pidana & perdata
ü  Mengenal beberapa prosedur penuntutan.[12]


     [1] Prof Iman Sudiyat, SH,Hukum Adat Sketsa Asas,(Yogyakarta: Liberty Yogya, 1981) hal 174.
     [2] www.google.com/bab-viii-hukum-delik-adat
     [3] Ahmad Taufiq Labera, Hukum Adat Delik Adat, sumber; http://www.labera.tk/2011/02/hukum-adat-delik-adat.html .
     [4] Bewa Ragawino, Op., Cit., hlm. 114
     [5]  B. Ter Haar, Beginselen En Stelsel Van Het Adatrecht, alih bahasa oleh Soebakti Poesponoto, Asas-asas dan Susunan Hukum Adat, (Jakarta: Pradnya Paramita, 1981), hlm. 125
     [6] Prof Iman Sudiyat, SH,Hukum Adat Sketsa Asas,(Yogyakarta: Liberty Yogya, 1981) hal 175.
     [7] Ibid hal 176-177.
     [9]  Prof Iman Sudiyat, SH,Hukum Adat Sketsa Asas,(Yogyakarta: Liberty Yogya, 1981) hal 177.
     [12] www.google.com/bab-viii-hukum-delik-adat

1 komentar:

  1. Klo ada org yg sering jadi profokator sehingga mengakibatkan ketentraman dlm adat itu sendiri jd terpecah belah, apakah org trsebut bs dipidanakan??
    dan bagi yg melanggar delik apakah pembuktianya hanya saksi sdh cukup utk di pengadilan??

    BalasHapus