1.
Pengertian Delik Adat
Delik adat merupakan tindakan
melanggar hukum. Tapi tidak semua pelanggaran hukum merupakan perbuatan pidana
( delik ). Perbuatan yang dapat dipidana hanyalah pelanggaran hukum yang
diancam dengan suatu pidana oleh Undang-Undang.[1]
Soerojo Wignjodipoero berpendapat delik adalah suatu tindakan yang melanggar
perasaan keadilan & kepatutan yang hidup dalam masyarakat, sahingga
menyebabkan terganggunya ketentraman serta keseimbangan masyarakat guna
memulihkan kembali, maka terjadi reaksi-reaksi adat. Jadi, hukum delik adat
adalah keseluruhan hukum tidak tertulis yang menentukan adanya
perbuatan-perbuatan pelanggaran adat beserta segala upaya untuk memulihkan
kembali keadaan keseimbangan yang terganggu oleh perbuatan tersebut.[2]
Menurut Van
Vollenhoven, delik Adat adalah perbuatan yang tidak boleh dilakukan walaupun
dalam kenyataannya peristiwa atau perbuatan itu hanya merupakan kesalahan yang
kecil saja.[3] Soepomo sebagaimana dikutip oleh
Bewa Ragawino, SH. MSI. menyatakan bahwa Delik Adat: “ Segala perbuatan atau
kejadian yang sangat menggangu kekuatan batin masyarakat, segala perbuatan atau
kejadian yang mencemarkan suasana batin, yang menentang kesucian masyarakat,
merupakan delik terhadap masyarakat seluruhnya” Selanjutnya dinyatakan pula: “Delik
yang paling berat ialah segala pelanggaran yang memperkosa perimbangan antara
dunia lahir dan dunia gaib, serta pelanggaran yang memperkosa dasar susunan
masyarakat”[4]
Mengenai pengertian delik adat ini,
Teer Haar memberikan pernyataan bahwa Setiap perbuatan dalam sistem adat dinilai dan dipertimbangkan
berdasarkan tata susunan persekutuan yang berlaku pada saat perbuatan tersebut
dilakukan. Pelanggaran yang terjadi di dalam hukum adat atau juga disebut delik
adat menurutnya adalah setiap gangguan terhadap keseimbangan dan setiap
gangguan terhadap barang-barang materiil dan imateriil milik seseorang atau
sekelompok orang yang menimbulkan reaksi adat.[5]
2. Subyek Delik Adat
Apabila terjadi suatu pelanggaran hukum, maka petugas
hukum ( kepala adat dan sebagainya ) mengambil tindakan konkrit ( reaksi adat )
guna membetulkan hukum yang dilanggar itu. Misalnya, tidak melunasi hutang dapat
dipulihkan dengan penghukuman debitur untuk melunasi hutangnya.[6]
3. Lahirnya Delik Adat
Suatu
delik lahir dengan diundangkannya suatu ancaman pidana di dalam staatsblad (
lembaran negara ). Di dalam sistem hukum adat ( hukum tak tertulis ), lahirnya
suatu delik serupa dengan lahirnya tiap-tiap peraturan hukum tak tertulis.
Tiap-tiap peraturan hukum adat timbul, berkembang dan seterusnya lenyap dengan
lahirnya peraturan baru, sedangkan peraturan baru itu berkembang kemudian
lenyap pula begitu seterusnya.[7]
Berdasarkan
teori beslissingen teer (ajaran keputusan) bahwa suatu peraturan
mengenai tingkah laku manusia akan bersifat hukum manakala diputuskan &
dipertahan-kan oleh petugas hukum. Karena manusia itu melakukan sebuah tindakan
yang dianggap salah, maka dibuatlah hukuman bagi orang yang melakukan tindakan
itu. Maka dari pada itulah lahirnya sebuah delik (Pelanggaran) adat adalah
bersamaan dengan lahirnya hukum adat.
Hukum
delik adat bersifat tidak statis (dinamis) artinya suatu perbuatan yang tadinya
bukan delik pada suatu waktu dapat dianggap delik oleh hakim (kepala adat)
karena menentang tata tertib masyarakat sehingga perlu ada reaksi (upaya) adat
untuk memulihkan kembali. Maka daripada itulah hukum delik adat akan timbul,
seiring berkembang dan lenyap dengan menyesuaikan diri dengan perasaan keadilan
masyarakat.[8]
4.
Aliran Fikiran Tradisional
Alam
pikiran tradisional Indonesia bersifat kosmis, meliputi segala-galanya sebagai
kesatuan ( totaliter ). Aliran pikiran kosmis merupakan latar belakang hukum
pelanggaran adat. Yang paling penting bagi masyarakat adalah adanya
keseimbangan, keselarasan, keserasian antara dunia lahir dan gaib.[9]
5.
Petugas Hukum Dalam Perkara Adat
Menurut
Undang-Undang Darurat No. 1/1951 yang mempertahankan ketentuan-ketentuan dalam
Ordonansi tanggal 9 Maret 1935 Ataatblad No.102 tahun 1955, Statblad No.
102/1945 maka hakim perdamaian desa diakui berwenang memeriksa segala perkara
adat, termasuk juga perkara delik adat. Delik-delik adat yang juga merupakan
delik menurut KUH Pidana, rakyat desa lambat laun telah menerima dan menganggap
sebagai suatu yang wajar bila yang bersalah itu diadili serta dijatuhi hukuman
oleh hakim pengadilan Negeri dengan pidana yang ditentukan oleh KUH Pidana.[10]
Jadi, menurut Ragawino,
dengan adanya hukum pidana dan perdata barat sejatinya meringankan tugas hakim
perdamaian adat, dimana masyarakat rela jika permasalahan yang terjadi
diselesaikan dalam undang-undang tersebut, namun hal ini mengurangi substansi
dari Undang-Undang Darurat No. 1/1951 yang mempertahankan ketentuan-ketentuan
dalam Ordonansi tanggal 9 Maret 1935 Ataatblad No. 102 tahun 1955, Statblad No.
102/1945 maka hakim perdamaian desa diakui berwenang memeriksa segala perkara
adat, termasuk juga perkara delik adat.[11]
6.
Perbedaan Delik Adat
Sistem Hukum
Adat:
ü Istilah teoretisnya Hukum pelanggaran
adat/hukum delik adat
ü Tidak membedakan lap pidana &
perdata
ü Hanya mengenal satu prosedur penuntutan
oleh petugas adat (kepala adat/perskutuan)
Sistem Hukum
Barat:
ü Istilah teoretisnya hukum pidana
ü Ada pembedaan lap pidana & perdata
ü Mengenal beberapa prosedur penuntutan.[12]
Klo ada org yg sering jadi profokator sehingga mengakibatkan ketentraman dlm adat itu sendiri jd terpecah belah, apakah org trsebut bs dipidanakan??
BalasHapusdan bagi yg melanggar delik apakah pembuktianya hanya saksi sdh cukup utk di pengadilan??