A.
PERKAWINAN
I.
Pengertian
Perkawinan
a.
Menurut
Hukum Adat
Perkawinan Adat
:Ikatan hidup bersama antara seorang pria dan wanita, yang bersifat komunal
dengan tujuan mendapatkan generasi penerus agar supaya kehidupan persekutuan
atau clannya tidak punah, yang didahului dengan rangkaian upacara adat.
Menurut Barend Ter Haar, (1991:159) sebagaimana dikutip oleh Tolib
Setiady disebutkan : “Perkawinan adalah suatu usaha atau peristiwa hukum yang
menyebabkan terus berlangsungnya golongan dengan tertibnya dan merupakan suatu
syarat yang menyebabkan terlahirnya angkatan baru yang meneruskan golongan itu
tersebut”.[1]
Hilman Hadikusuma, menyebutkan : Hukum Adat Perkawinan
adalah aturan-aturan hukum adat yang mengatur tentang bentuk-bentuk perkawinan,
cara-cara pelamaran, upacara perkawinan dan putusnya perkawinan di Indonesia.[2]
b.
Menurut
Undang-Undang No.1 Tahun 1974
Perkawinan
menurut Pasal 1 UU No. 1 Tahun 1974, yakni perkawinan adalah ikatan lahir batin
antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai seorang suami-istri dengan
tujuan membentuk keluarga (rumah-tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan
Ketuhanan Yang Maha Esa.
II.
Sistem
Perkawinan
Menurut paham ilmu bangsa-bangsa (ethnologi) dilihat dari keharusan
dan larangan mencari calon istri bagi setiap pria maka perkawinan itu dapat
berlaku menggunakan sistem endogami dan sistem eksogami yang kebanyakan dianut
oleh masyarakat adat bertali darah dan atau dengan sistem Eleuthrogami
sebagaimana yang banyak berlaku dimasyarakat adat terutama yang banyak
dipengaruhi hukum islam[3]
Di
masyarakat adat ada suatu sistem perkawinan dimana setiap sistem itu
mempengaruhi status anak, waris, kedudukan anak didalam masyarakat adat itu
sendiri, adapun penjelasan sistem perkawinannya sebagai berikut :
Sistem
Endogami
Sistem Perkawinan Sistem Eksogami
Sistem
Eleuthrogami
a.
Sistem
Endogami ialah suatu perkawinan yang
hanya memperbolehkan seseorang kawin harus dengan keluarga/marganya sendiri. Salah
satu yang menerapkan sistem ini di daerah Toraja.
b.
Sistem
Eksogami ialah suatu sistem perkawinan yang hanaya memperbolehkan seseorang
nikah harus diluar dari keluarganya sendiri/marganya. Istilah eksogami ini mempunyai
pengertian yang sangat nisbi (relatif). Pengertian diluar batas lingkungan bisa
diartikan luas namun bisa pula sangat sempit.
Menurut Prof. Dr. Koentjaraningrat kalau orang dilarang kawin dengan
saudara-saudara kandungnya, maka kita sebut "eksogami keluarga
batih". Kalau orang dilarang kawin dengan semua orang yang mempunyai marga
"marga" yang sama, disebut "eksogami marga". Kalau orang
dilarang kawin dengan orang yang berasal dari "nagari" yang sama,
kita sebut dengan "eksogami nagari daerah yang menerapkan sistem ini
diantaranya adalah daerah gayo. Alas, Tapanuli, Minang Kabau, Sumatera Selatan,
Buru, dan Seram.
c.
Sistem
Eleuthrogami didalam sistem ini seorang pria tidak diharuskan atau dilarang
untuk mencari isteri diluar atau didalam lingkungan kerabat atau suku melainkan
dalam batas-batas hubungan keturunan yang dekat biasa disebut “nasab” atau
periparan “musyarahah” sebagaimana yang ditentukan dalam islam atau dalam
perundang-undangan yang berlaku.[4]
III.
Asas-Asas
Perkawinan.
Perkawinan
menurut hukum adat tidak semata-mata berarti suatu ikatan antara seorang pria
dengan wanita sebagai suami-isteri untuk maksud mendapatkan keturunandan
membangun serta membina kehidupan keluarga rumah tangga, tetapi juga berarti
suatu hubungan hukum yang menyangkut para anggota kerabat dari pihak isteri dan
dari pihak suami. Terjadinya perkawinan berarti berlakunya ikatan kekerabatan
untuk dapat saling membantu dan menunjang hubungan kekerabatan yang rukun dan
damai.
Dengan
terjadinya perkawinan, maka diharapkan agar dari perkawinan itu didapat
keturunan yang akan menjadi penerus silsilah orang tua dan kerabat, menurut
garis ayah atau garis ibu atau garis orang tua. Adanya silsilah yang
menggambarkan kedudukan seseorang sebagai anggota kerabat, adalah merupakan
barometer dari asal-usul keturunan seseorang yang baik dan teratur. Selanjutnya
sehubungan dengan azas-azas perkawinan yang dianut oleh UU No. 1/1974, maka
azas-azas perkawinan menurut hukum adat adalah sebagai berikut:
1.
Perkawinan
bertujuan membentuk keluarga rumah tangga dan hubungan kekerabatan yang rukun
dan damai, bahagia dan kekal.
2.
Perkawinan
tidak saja harus sah dilaksanakan menurut hukum agama dan atau kepercayaan,
tetapi juga harus mendapat pengakuan dari para anggota kerabat.
3.
Perkawinan
dapat dilakukan oleh seorang pria dengan beberapa wanita sebagai isteri yang
kedudukannya masing-masing ditentukan menurut hukum adat setempat.
4.
Perkawinan
harus didasarkan atas persetujuan orang tua dan anggota kerabat. Masyarakat
adat dapat menolak kedudukan suami atau isteri yang tidak diakui masyarakat
adat.
5.
Perkawinan
boleh dilakukan oleh pria dan wanita yang belum cukup umur atau masih
anak-anak. Begitu pula walaupun sudah cukup umur perkawinan harus berdasarkan
izin orang tua/keluarga dan kerabat.
6.
Perceraian
ada yang dibolehkan dan ada yang tidak diperbolehkan. Perceraian antara suami
dan isteri dapat berakibat pecahnya hubungan kekerabatan antara dua pihak.
7.
Keseimbangan
kedudukan antara suami dan isteri berdasarkan ketentuan hukum adat yang
berlaku, ada isteri yang berkedudukan sebagai ibu rumah tangga dan ada isteri
yang bukan ibu rumah tangga.[5]
Sedangkan asas-asas perkawinan
menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 adalah sebagai berikut:
1.
Asas
Kesepakatan (Bab II Pasal 6 ayat (1) UU No. 1 Tahun 1974), yaitu harus ada kata
sepakat antara calon suami dan isteri.
2.
Asas
monogami (Pasal 3 ayat (1) UU No. 1 Tahun 1974). Pada asasnya, seorang pria
hanya boleh memiliki satu isteri dan seorang wanita hanya boleh memiliki satu
suami.
3.
Tapi
ada perkecualian (Pasal 3 ayat (2) UU No. 1 Tahun 1974), dengan syarat-syarat
yang diatur dalam Pasal 4-5.
4.
Perkawinan
bukan semata ikatan lahiriah melainkan juga batiniah.
5.
Supaya
sah perkawinan harus memenuhi syarat yang ditentukan undang-undang (Pasal 2 UU
No. 1 Tahun 1974).[6]
6.
Perkawinan
mempunyai akibat terhadap pribadi suami dan isteri.
7.
Perkawinan
mempunyai akibat terhadap anak/keturunan dari perkawinan tersebut.
8.
Perkawinan
mempunyai akibat terhadap harta suami dan isteri tersebut.
Dengan telah
berlakunya UU No.1 tahun 1974 diharapkan agar masyarakat adat akan dapat
menyesuaikan hukum adatnya dengan undang-undang tersebut. tetapi sejauh mana
masyarakat adat itu sendiri, dan kesadaran hukumnya. Oleh karena itu apa yang
terjadi jiwa dari perundang-undangan belum tentu sesuai dengan alam fikiran
masyarakat.
IV.
Perkawinan
Anak
Perkawinan
baik dari pihak laki-laki maupun perempuan yang belum baligh atau belum dewasa
diperbolehkan menurut hukum adat[7].
Kecuali dibeberapa daerah seperti Kerinci, suku Toraja, dan di Roti. Khususnya
di Pulau Bali perkawinan gadis yang belum dewasa merupakan suatu yang dijatuhi hukuman. Selain
itu, adat tidak melarang adanya perkawinan anak[8].
Tetapi
meskipun kebanyakan daerah perkawinan anak itu diperbolehkan didalam kenyataan,
biasanya tidak akan terjadi, bahwa para orang tua atau para wali dari anak-anak
itu akan memberi izin mereka kawin sebelum mereka masing-masing mencapai umur
yang pantas, yaitu 15 atau 16 tahun bagi
perempuan dan umur 18 atau 19 tahun bagi laki-laki.
Apabila
terjadi seorang anak perempuan yang umurnya belum 15 tahun dikawinkan dengan laki-laki yang belum
mencapai usia 18 tahun atau lebih, maka biasanya setelah nikah, hidup mereka
bersama sebagai dua mempelai suami istri ditangguhkan sampai nanti mereka sudah
mencapai umur yang pantas. Perkawian seperti ini disebut “kawin gantung”, di
Jawa disebut “gantung nikah”. Biasanya kemudian, setelah mempelai berdua telah
mencapai umur yang pantas, artinya hidup bersama sebagai suami istri sudah
mungkin, perkawinan ini disusuli dengan
perkawinan adat[9].
Biasanya
alasan untuk segera merealisasikan hubungan kekeluargaan antara kerabat
mempelai pria dan wanita yang telah mereka inginkan bersama.
Alasan
inilah yang terkadang menyebabkan adanya anak yang masih dalam kandungan telah
dijadikan untuk kelak dikawinkan dengan anak keluarga yang lain, hanya karena
terdorong oleh keinginan adanya ikatan kekeluargaan dengan keluarga itu saja.
Selain itu keinginan itu timbul karena ikatan itu dianggap membawa keuntungan
bagi kedua belah pihak.
Lazimnya,
pada “kawin gantung” ini ada kebiasaan mempelai laki-laki setelah menikah
bertempat tinggal di rumah mertuanya serta menjadi bantuan tenaga kerja bagi
mertuanya. Maka hal ini pun kadang juga menjadi alasan dilakukanya kawin
gantung. Dan baru bisa berkumpul layaknya suami istri setelah sama-sama dewasa.
Didaerah
Rejang, seperti dikemukakan oleh Prof. Dr. Hazairin dalam bukunya “Rejang” terdapat pula semacam perkawinan
dimana kemantin pria dan wanitanya tidak bisa langsung berkumpul layaknya suami
istri (jadi merupakan nikah gantung juga).
Tetapi
alasan mereka tidak bisa langsung hidup seperti suami istri bukan hanya karena
salah satu atau keduanya belum dewasa saja, tetapi karena upacara secara adat
belum selengkapnya diselenggarakan. Setelah upacara nikah, menurut adat masih
wajib menyelenggarakan “pesta bimbang”
dan sebelum ada pesta bimbang ini, maka mempelai belum bisa hidup sebagai suami
istri. Jadi kalau belum melakukan pesta bimbang dan mempelai sudah berkumpul
sebagai suami istri, menurut masyarakat adat mereka dianggap melakukan zinah menurut adat[10].
Dari
aspek agama, ditinjau dari kaca mata agama islam bahwa islam tidak menghalangi
adanya perkawinan anak. Tetapi agama Kristen menetapkan bahwa perkawinan hanya
mungkin bila pihak kemantinnya sudah
dewasa, begitu juga pasal 4 dalam “christen
inlanders regeling“ untuk Jawa,
Ambon, Minahasa Staatsblad1933 no. 74[11].
B.
PERCERAIAN
I.
Sebab-sebab
Perceraian
Pada dasarnya suatu perkawinan itu dapat putus dikarenakan kematian
atau perceraian. Dalam masyarakat adat yang bersifat bilateral, apabila suami
wafat, maka isteri yang putus perkawinannya dapat kembali kekerabat asalnya.
Tetapi dikalangan masyarakat patrilinial dalam bentuk perkawinan yang jujur,
apabila suami wafat, isteri tetap di rumah kerabat suami, oleh karena kedudukan
sitri bukan lagi warga adat dari kekerabatan asalnya, tetapi telah menjadi
warga adat kekerabatan suami.[12]
Selain kematian, sebab-sebab perceraian diantara lain[13] :
1.
Perzinahan
2.
Tidak
memberi nafkah
3.
Penganiyaan
4.
Catat
tubuh/kesehatan
5.
Perselisihan
II.
Tata
cara perceraian
Menurut UU No. 1 Tahun 1974 Pasal 40 perceraian merupakan gugatan
yang diajukan kepada Pengadilan. Hal mengajukan gugutan perceraian kepada
Pengadilan ini sebenarnya tidak dikenal dalam hukum adat dibeberapa lingkungan
masyarakat adat. Namun demikaian, dikalangan masyarakat adat yang membolehkan
terjadinya perceraian perbuatan mengajukan perceraian kepada pengadilan banyak
juga terjadi.[14]
Di kalangan masyarakat adat dimana peradilan adat (desa) atau
peradilan dat kekerabatan itu masih berjalan, maka setiap perselisihan suami
isteri harus dicarikan jalan penyelaian oleh kerabat agar mereka dapat rukun
dan damai. Kecuali apabila kerabat sudah tidak dapat lagi menyelasaikan
perselisihan itu secara damai, barulah ditersuskan pada pengadilan resmi.[15] tata
cara perceraian pada pengadilan resmi ini lebih lanjut dijelaskan oleh Prof. H. Hilman Hadikusuma, S.H. dalam bukunya yang berjudul “Hukum Perkawinan Indonesia” sebagai berikut:
Tata
cara perceraian di Pengadilan Negeri:
ü Gugatan
cerai diajukan oleh penggugat atau kuasanya di pengadilan yang daerah hukumnya
meliputi tempat kediaman tergugat, kecuali tergugat tidak diketahui tempat
kediaman atau tergugat di luar negeri sehingga gugatan harus diajukan di
pengadilan tempat kediaman penggugat;
ü Pemeriksaan
gugatan oleh Hakim
ü Perceraian
diputus oleh Hakim;
ü Putusan
perceraian didaftarkan kepada Pegawai Pencatat.
Tata cara perceraian
di Pengadilan Agama :
Dalam
hal suami sebagai pemohon (Cerai Talak):
Ø Seorang
suami yang akan menceraikan istrinya mengajukan permohonan kepada Pengadilan
untuk mengadakan sidang guna menyaksikan ikrar talak di Pengadilan tempat
kediaman termohon (istri). Kecuali apabila termohon dengan sengaja meninggalkan
tempat kediaman yang ditentukan bersama tanpa izin pemohon;
Ø Dalam
hal termohon bertempat tinggal di luar negeri, permohonan diajukan kepada
Pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat kediaman pemohon;
Ø Dalam hal pemohon dan termohon bertempat tinggal di luar negeri,
maka permohonan diajukan kepada pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat
perkawinan mereka dilangsungkan atau kepada Pengadilan Agama Jakarta Pusat;
Dalam hal istri
sebagai penggugat (Cerai Gugat) :
Ø Gugatan
perceraian diajukan oleh istri atau kuasanya kepada pengadilan yang daerah
hukumnya meliputi tempat kediaman penggugat (istri), kecuali apabila penggugat
dengan sengaja meninggalkan tempat kediaman bersama tanpa izin tergugat
(suami);
Ø Dalam
hal penggugat bertempat tinggal di luar negeri maka gugatan perceraian diajukan
kepada pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat kediaman tergugat;
Dalam hal penggugat dan tergugat bertempat tinggal
di luar negeri maka gugatan diajukan kepada pengadilan yang daerah hukumnya
meliputi tempat perkawinan mereka dilangsungkan atau kepada Pengadilan Agama
Jakarta Pusat.
[1] Tolib
Setiady, “Intisari Hukum Adat Indonesia dalam kajian kepustakaan”,
Alfabeta, Bandung, 2008 hlm. 221-222.
[2]
Hilman Hadikusuma, “Pengantar Ilmu Hukum Adat Indonesia”,
CV. Mandar Maju, Bandung, 1992, hlm. 182.
[3] Surojo
Wignjodipuro.S.H, “Pengantar dan azaz-azaz Hukum Adat, Alumni, Bandung, 1971,
hlm 167
[4] Hilman
Hadikusumo, op cit, hlm 69
[5] Hilman
Hadikusumo, ibid, hal. 70-71
[6] UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG
PERKAWINAN
[7]
Asas-asas dan susunan hukum adat (beginselen en stelsel van het adatrecht) oleh
Mr. B. Ter haar bzn. Terjemahan dari K. Ng. Soebakti Poesponoto . Jakarta.
1973. PT Pratnya Paramitha. Hlm 206
[8]
pengantar dan asas asas hukum adat. PT took gunung agung. Jakarta hlm 133
[9]pengantar
dan asas asas hukum adat. PT took gunung agung. Jakarta hlm 134
[10]
ibid
[11]Asas-asas
dan susunan hukum adat (beginselen en stelsel van het adatrecht) oleh Mr. B.
Ter haar bzn. Terjemahan dari K. Ng. Soebakti Poesponoto . Jakarta. 1973. PT
Pratnya Paramitha. Hlm 206
[12] Hilman Hadikusumo, ibid, hal. 170
[13] Ibid. Hal. 172
[14] Ibid. Hal. 177
[15] Ibid. Hal. 177
Tidak ada komentar:
Posting Komentar