Sugeng Rawuh...

Selasa, 06 November 2012

Perkawinan Adat

A.    PERKAWINAN
I.     Pengertian Perkawinan
a.       Menurut Hukum Adat
Perkawinan Adat :Ikatan hidup bersama antara seorang pria dan wanita, yang bersifat komunal dengan tujuan mendapatkan generasi penerus agar supaya kehidupan persekutuan atau clannya tidak punah, yang didahului dengan rangkaian upacara adat.
Menurut Barend Ter Haar, (1991:159) sebagaimana dikutip oleh Tolib Setiady disebutkan : “Perkawinan adalah suatu usaha atau peristiwa hukum yang menyebabkan terus berlangsungnya golongan dengan tertibnya dan merupakan suatu syarat yang menyebabkan terlahirnya angkatan baru yang meneruskan golongan itu tersebut”.[1]
Hilman Hadikusuma, menyebutkan : Hukum Adat Perkawinan adalah aturan-aturan hukum adat yang mengatur tentang bentuk-bentuk perkawinan, cara-cara pelamaran, upacara perkawinan dan putusnya perkawinan di Indonesia.[2]

b.      Menurut Undang-Undang No.1 Tahun 1974
Perkawinan menurut Pasal 1 UU No. 1 Tahun 1974, yakni perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai seorang suami-istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah-tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.

II.  Sistem Perkawinan
Menurut paham ilmu bangsa-bangsa (ethnologi) dilihat dari keharusan dan larangan mencari calon istri bagi setiap pria maka perkawinan itu dapat berlaku menggunakan sistem endogami dan sistem eksogami yang kebanyakan dianut oleh masyarakat adat bertali darah dan atau dengan sistem Eleuthrogami sebagaimana yang banyak berlaku dimasyarakat adat terutama yang banyak dipengaruhi hukum islam[3]
Di masyarakat adat ada suatu sistem perkawinan dimana setiap sistem itu mempengaruhi status anak, waris, kedudukan anak didalam masyarakat adat itu sendiri, adapun penjelasan sistem perkawinannya sebagai berikut :

                                                                  Sistem Endogami
            Sistem Perkawinan                        Sistem Eksogami
                                                                   Sistem Eleuthrogami       

a.       Sistem Endogami  ialah suatu perkawinan yang hanya memperbolehkan seseorang kawin harus dengan keluarga/marganya sendiri. Salah satu yang menerapkan sistem ini di daerah Toraja.
b.      Sistem Eksogami ialah suatu sistem perkawinan yang hanaya memperbolehkan seseorang nikah harus diluar dari keluarganya sendiri/marganya. Istilah eksogami ini mempunyai pengertian yang sangat nisbi (relatif). Pengertian diluar batas lingkungan bisa diartikan luas namun bisa pula sangat sempit.  Menurut Prof. Dr. Koentjaraningrat kalau orang dilarang kawin dengan saudara-saudara kandungnya, maka kita sebut "eksogami keluarga batih". Kalau orang dilarang kawin dengan semua orang yang mempunyai marga "marga" yang sama, disebut "eksogami marga". Kalau orang dilarang kawin dengan orang yang berasal dari "nagari" yang sama, kita sebut dengan "eksogami nagari daerah yang menerapkan sistem ini diantaranya adalah daerah gayo. Alas, Tapanuli, Minang Kabau, Sumatera Selatan, Buru, dan Seram.
c.       Sistem Eleuthrogami didalam sistem ini seorang pria tidak diharuskan atau dilarang untuk mencari isteri diluar atau didalam lingkungan kerabat atau suku melainkan dalam batas-batas hubungan keturunan yang dekat biasa disebut “nasab” atau periparan “musyarahah” sebagaimana yang ditentukan dalam islam atau dalam perundang-undangan yang berlaku.[4]

III.         Asas-Asas Perkawinan.
Perkawinan menurut hukum adat tidak semata-mata berarti suatu ikatan antara seorang pria dengan wanita sebagai suami-isteri untuk maksud mendapatkan keturunandan membangun serta membina kehidupan keluarga rumah tangga, tetapi juga berarti suatu hubungan hukum yang menyangkut para anggota kerabat dari pihak isteri dan dari pihak suami. Terjadinya perkawinan berarti berlakunya ikatan kekerabatan untuk dapat saling membantu dan menunjang hubungan kekerabatan yang rukun dan damai.
Dengan terjadinya perkawinan, maka diharapkan agar dari perkawinan itu didapat keturunan yang akan menjadi penerus silsilah orang tua dan kerabat, menurut garis ayah atau garis ibu atau garis orang tua. Adanya silsilah yang menggambarkan kedudukan seseorang sebagai anggota kerabat, adalah merupakan barometer dari asal-usul keturunan seseorang yang baik dan teratur. Selanjutnya sehubungan dengan azas-azas perkawinan yang dianut oleh UU No. 1/1974, maka azas-azas perkawinan menurut hukum adat adalah sebagai berikut:
1.      Perkawinan bertujuan membentuk keluarga rumah tangga dan hubungan kekerabatan yang rukun dan damai, bahagia dan kekal.
2.      Perkawinan tidak saja harus sah dilaksanakan menurut hukum agama dan atau kepercayaan, tetapi juga harus mendapat pengakuan dari para anggota kerabat.
3.      Perkawinan dapat dilakukan oleh seorang pria dengan beberapa wanita sebagai isteri yang kedudukannya masing-masing ditentukan menurut hukum adat setempat.
4.      Perkawinan harus didasarkan atas persetujuan orang tua dan anggota kerabat. Masyarakat adat dapat menolak kedudukan suami atau isteri yang tidak diakui masyarakat adat.
5.      Perkawinan boleh dilakukan oleh pria dan wanita yang belum cukup umur atau masih anak-anak. Begitu pula walaupun sudah cukup umur perkawinan harus berdasarkan izin orang tua/keluarga dan kerabat.
6.      Perceraian ada yang dibolehkan dan ada yang tidak diperbolehkan. Perceraian antara suami dan isteri dapat berakibat pecahnya hubungan kekerabatan antara dua pihak.
7.      Keseimbangan kedudukan antara suami dan isteri berdasarkan ketentuan hukum adat yang berlaku, ada isteri yang berkedudukan sebagai ibu rumah tangga dan ada isteri yang bukan ibu rumah tangga.[5]
Sedangkan asas-asas perkawinan menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 adalah sebagai berikut:
1.    Asas Kesepakatan (Bab II Pasal 6 ayat (1) UU No. 1 Tahun 1974), yaitu harus ada kata sepakat antara calon suami dan isteri.
2.    Asas monogami (Pasal 3 ayat (1) UU No. 1 Tahun 1974). Pada asasnya, seorang pria hanya boleh memiliki satu isteri dan seorang wanita hanya boleh memiliki satu suami.
3.    Tapi ada perkecualian (Pasal 3 ayat (2) UU No. 1 Tahun 1974), dengan syarat-syarat yang diatur dalam Pasal 4-5.
4.    Perkawinan bukan semata ikatan lahiriah melainkan juga batiniah.
5.    Supaya sah perkawinan harus memenuhi syarat yang ditentukan undang-undang (Pasal 2 UU No. 1 Tahun 1974).[6]
6.    Perkawinan mempunyai akibat terhadap pribadi suami dan isteri.
7.    Perkawinan mempunyai akibat terhadap anak/keturunan dari perkawinan tersebut.
8.    Perkawinan mempunyai akibat terhadap harta suami dan isteri tersebut.
Dengan telah berlakunya UU No.1 tahun 1974 diharapkan agar masyarakat adat akan dapat menyesuaikan hukum adatnya dengan undang-undang tersebut. tetapi sejauh mana masyarakat adat itu sendiri, dan kesadaran hukumnya. Oleh karena itu apa yang terjadi jiwa dari perundang-undangan belum tentu sesuai dengan alam fikiran masyarakat.
IV.    Perkawinan Anak
Perkawinan baik dari pihak laki-laki maupun perempuan yang belum baligh atau belum dewasa diperbolehkan menurut hukum adat[7]. Kecuali dibeberapa daerah seperti Kerinci, suku Toraja, dan di Roti. Khususnya di Pulau Bali perkawinan gadis yang belum dewasa  merupakan suatu yang dijatuhi hukuman. Selain itu, adat tidak melarang adanya perkawinan anak[8].
Tetapi meskipun kebanyakan daerah perkawinan anak itu diperbolehkan didalam kenyataan, biasanya tidak akan terjadi, bahwa para orang tua atau para wali dari anak-anak itu akan memberi izin mereka kawin sebelum mereka masing-masing mencapai umur yang pantas, yaitu 15 atau 16 tahun  bagi perempuan dan umur 18 atau 19 tahun bagi laki-laki.
Apabila terjadi seorang anak perempuan yang umurnya belum 15 tahun  dikawinkan dengan laki-laki yang belum mencapai usia 18 tahun atau lebih, maka biasanya setelah nikah, hidup mereka bersama sebagai dua mempelai suami istri ditangguhkan sampai nanti mereka sudah mencapai umur yang pantas. Perkawian seperti ini disebut “kawin gantung”, di Jawa disebut “gantung nikah”. Biasanya kemudian, setelah mempelai berdua telah mencapai umur yang pantas, artinya hidup bersama sebagai suami istri sudah mungkin, perkawinan  ini disusuli dengan perkawinan adat[9].
Biasanya alasan untuk segera merealisasikan hubungan kekeluargaan antara kerabat mempelai pria dan wanita yang telah mereka inginkan bersama.
Alasan inilah yang terkadang menyebabkan adanya anak yang masih dalam kandungan telah dijadikan untuk kelak dikawinkan dengan anak keluarga yang lain, hanya karena terdorong oleh keinginan adanya ikatan kekeluargaan dengan keluarga itu saja. Selain itu keinginan itu timbul karena ikatan itu dianggap membawa keuntungan bagi kedua belah pihak.
Lazimnya, pada “kawin gantung” ini ada kebiasaan mempelai laki-laki setelah menikah bertempat tinggal di rumah mertuanya serta menjadi bantuan tenaga kerja bagi mertuanya. Maka hal ini pun kadang juga menjadi alasan dilakukanya kawin gantung. Dan baru bisa berkumpul layaknya suami istri setelah sama-sama dewasa.
Didaerah Rejang, seperti dikemukakan oleh Prof. Dr. Hazairin dalam bukunya “Rejang” terdapat pula semacam perkawinan dimana kemantin pria dan wanitanya tidak bisa langsung berkumpul layaknya suami istri (jadi merupakan nikah gantung juga).
Tetapi alasan mereka tidak bisa langsung hidup seperti suami istri bukan hanya karena salah satu atau keduanya belum dewasa saja, tetapi karena upacara secara adat belum selengkapnya diselenggarakan. Setelah upacara nikah, menurut adat masih wajib menyelenggarakan  “pesta bimbang” dan sebelum ada pesta bimbang ini, maka mempelai belum bisa hidup sebagai suami istri. Jadi kalau belum melakukan pesta bimbang dan mempelai sudah berkumpul sebagai suami istri, menurut masyarakat adat mereka dianggap melakukan zinah menurut adat[10].
Dari aspek agama, ditinjau dari kaca mata agama islam bahwa islam tidak menghalangi adanya perkawinan anak. Tetapi agama Kristen menetapkan bahwa perkawinan hanya mungkin bila pihak kemantinnya  sudah dewasa, begitu juga pasal 4 dalam “christen inlanders regeling“  untuk Jawa, Ambon, Minahasa Staatsblad1933 no. 74[11].

B.     PERCERAIAN

I.     Sebab-sebab Perceraian
Pada dasarnya suatu perkawinan itu dapat putus dikarenakan kematian atau perceraian. Dalam masyarakat adat yang bersifat bilateral, apabila suami wafat, maka isteri yang putus perkawinannya dapat kembali kekerabat asalnya. Tetapi dikalangan masyarakat patrilinial dalam bentuk perkawinan yang jujur, apabila suami wafat, isteri tetap di rumah kerabat suami, oleh karena kedudukan sitri bukan lagi warga adat dari kekerabatan asalnya, tetapi telah menjadi warga adat kekerabatan suami.[12]
Selain kematian, sebab-sebab perceraian diantara lain[13] :
1.      Perzinahan
2.      Tidak memberi nafkah
3.      Penganiyaan
4.      Catat tubuh/kesehatan
5.      Perselisihan

II.  Tata cara perceraian
Menurut UU No. 1 Tahun 1974 Pasal 40 perceraian merupakan gugatan yang diajukan kepada Pengadilan. Hal mengajukan gugutan perceraian kepada Pengadilan ini sebenarnya tidak dikenal dalam hukum adat dibeberapa lingkungan masyarakat adat. Namun demikaian, dikalangan masyarakat adat yang membolehkan terjadinya perceraian perbuatan mengajukan perceraian kepada pengadilan banyak juga terjadi.[14]
Di kalangan masyarakat adat dimana peradilan adat (desa) atau peradilan dat kekerabatan itu masih berjalan, maka setiap perselisihan suami isteri harus dicarikan jalan penyelaian oleh kerabat agar mereka dapat rukun dan damai. Kecuali apabila kerabat sudah tidak dapat lagi menyelasaikan perselisihan itu secara damai, barulah ditersuskan pada pengadilan resmi.[15]  tata cara perceraian pada pengadilan resmi ini lebih lanjut dijelaskan oleh Prof. H. Hilman Hadikusuma, S.H. dalam bukunya yang berjudul “Hukum Perkawinan Indonesia sebagai berikut:
Tata cara perceraian di Pengadilan Negeri:
ü  Gugatan cerai diajukan oleh penggugat atau kuasanya di pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat kediaman tergugat, kecuali tergugat tidak diketahui tempat kediaman atau tergugat di luar negeri sehingga gugatan harus diajukan di pengadilan tempat kediaman penggugat;
ü  Pemeriksaan gugatan oleh Hakim
ü  Perceraian diputus oleh Hakim;
ü  Putusan perceraian didaftarkan kepada Pegawai Pencatat.
 Tata cara perceraian di Pengadilan Agama :
Dalam hal suami sebagai pemohon (Cerai Talak):
Ø  Seorang suami yang akan menceraikan istrinya mengajukan permohonan kepada Pengadilan untuk mengadakan sidang guna menyaksikan ikrar talak di Pengadilan tempat kediaman termohon (istri). Kecuali apabila termohon dengan sengaja meninggalkan tempat kediaman yang ditentukan bersama tanpa izin pemohon;
Ø  Dalam hal termohon bertempat tinggal di luar negeri, permohonan diajukan kepada Pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat kediaman pemohon;
Ø   Dalam hal pemohon dan termohon bertempat tinggal di luar negeri, maka permohonan diajukan kepada pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat perkawinan mereka dilangsungkan atau kepada Pengadilan Agama Jakarta Pusat;
 Dalam hal istri sebagai penggugat (Cerai Gugat) :
Ø  Gugatan perceraian diajukan oleh istri atau kuasanya kepada pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat kediaman penggugat (istri), kecuali apabila penggugat dengan sengaja meninggalkan tempat kediaman bersama tanpa izin tergugat (suami);
Ø  Dalam hal penggugat bertempat tinggal di luar negeri maka gugatan perceraian diajukan kepada pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat kediaman tergugat;
Dalam hal penggugat dan tergugat bertempat tinggal di luar negeri maka gugatan diajukan kepada pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat perkawinan mereka dilangsungkan atau kepada Pengadilan Agama Jakarta Pusat.


[1] Tolib Setiady, “Intisari Hukum Adat Indonesia dalam kajian kepustakaan”, Alfabeta, Bandung, 2008 hlm. 221-222.
[2] Hilman Hadikusuma, “Pengantar Ilmu Hukum Adat Indonesia”, CV. Mandar Maju, Bandung, 1992, hlm. 182.
[3] Surojo Wignjodipuro.S.H, “Pengantar dan azaz-azaz Hukum Adat, Alumni, Bandung, 1971, hlm 167
[4] Hilman Hadikusumo, op cit, hlm 69
[5] Hilman Hadikusumo, ibid, hal. 70-71
[6] UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN
[7] Asas-asas dan susunan hukum adat (beginselen en stelsel van het adatrecht) oleh Mr. B. Ter haar bzn. Terjemahan dari K. Ng. Soebakti Poesponoto . Jakarta. 1973. PT Pratnya Paramitha. Hlm 206
[8] pengantar dan asas asas hukum adat. PT took gunung agung. Jakarta hlm 133
[9]pengantar dan asas asas hukum adat. PT took gunung agung. Jakarta hlm 134
[10] ibid
[11]Asas-asas dan susunan hukum adat (beginselen en stelsel van het adatrecht) oleh Mr. B. Ter haar bzn. Terjemahan dari K. Ng. Soebakti Poesponoto . Jakarta. 1973. PT Pratnya Paramitha. Hlm 206
[12]  Hilman Hadikusumo, ibid, hal. 170
[13]  Ibid. Hal. 172
[14]  Ibid. Hal. 177
[15]  Ibid. Hal. 177

Tidak ada komentar:

Posting Komentar